20 Oktober 2009

Tahu dan Ikut Aturan

Kasus Kades Jual Raskin di Ende

Oleh Frans Anggal

Polsek Detusoko, Ende, menahan 4,8 ton raskin Desa Hangalande yang dijual Kades Geradus Fiedrich kepada Andi Suryadarma pengusaha di kota Ende. Truk pengangkut ikut ditahan. Dalam keterangan kepada polisi, kades mengatakan penjulan dilakukan atas kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa. Hasil penjualan dipakai untuk bayar pajak dan bangun kantor desa. Demikian warta Flores Pos Kamis 15 Oktober 2009.

Sebagai kades, Geradus Fiedrich mungkin punya karakteristik kepemimpinan yang baik. Ia libatkan masyarakat untuk putuskan mau diapakan jatah raskin (kepemimpinan partisipatif). Ia juga tanggap dan cepat mengatasi masalah pajak dan bangunan kantor desa (kepemimpinan responsif).

Sayang , dua karakteristik itu tidak disertai karakteristik lain yang harus dimiliki. Penegasan Kabulog Sub Divre Ende Guswardi Eteks, seperti dilansir Flores Pos Jumat 16 Oktober 2009, bisa memberikan gambaran. Sasaran raskin adalah rumah tangga miskin. Jual demi kepentingan lain di desa tidak dapat dibenarkan, meski ada kesepakatan. Pedoman teknis pelaksanaannya begitu.

Jadi, sang kades melanggar aturan. Padahal, menegakkan aturan perundang-undangan merupakan salah satu karakteristik yang harus dimiliki pemimpin. Boleh jadi ia tidak tahu adanya aturan itu. Dengan demikian, itu tidak ia masukkan sebagai salah satu unsur pertimbangan putusan.

Kalau benar begitu, sang kades sedang sesatpikir. Ini namanya ‘sesatpikir segi terabaikan’ (fallacy of negleted aspect). Dikiranya, yang disimpukannya sudah benar dan meyakinkan. Padahal tidak demikian, seandainya salah satu unsur penting, yakni aturan tadi, ia tahu dan ia masukkan sebagai pertimbangan.

Boleh jadi juga, sang kades tahu adanya aturan, sebagai salah satu unsur kebulatan pertimbangan. Namun kemudian, ia menyederhanakan kebulatan pertimbangan itu dengan mereduksikannya ke persoalan kesepakatan semata. Seolah-olah semuanya beres asalkan ada kesepakatan. Ini namanya ‘sesatpikir penyederhanaan’ (fallacy of reduction).

Di hadapan logika, sesatpikir gampang perbaiki. Logika bengkok, sebengkok apa pun, tinggal diluruskan, ya selesai. Tidak demikian di hadapan hukum. Pelurusan yang bengkok sering harus lewat penyidikan, penahanan, pendakwaan, persidangan, vonis, dan penjara. Di depan hukum, ketidaktahuan atau sesatpikir pun tidak dapat dijadikan dalih. Tahu atau tidak tahu, tetap dianggap sudah tahu. Itulah logika pemberlakuan hukum. Keras memang, tapi itulah hukum. Dura lex, sed lex.

Lihat saja, apa yang dilakukan Polsek Detusoko. Sebagai penegak hukum yang notabene ‘keras’ itu, mereka tidak mau tau. Apakah sang kades tahu aturan atau tidak, tetap saja ia dianggap sudah tahu, dan yang dilakukannya itu melanggar aturan yang sudah ia ketahui . Di hadapan hukum, ketidaktahuan tidak selamanya meluputkan. Sebaliknya, ia bisa mencelakakan. Ignorantia iuris nocet.

Dari pasal KUHP yang digunakan Polsek Detusoko, kasus penjualan raskin ini merupakan tindak ‘kejahatan’. Tahu atau tidak tahu aturan, yang dilakukan sang kades tetaplah digolongkan sebagai ‘kejahatan’. Ini kejamnya hukum. Mau bilang apa. Dampaknya? Ancaman penjara. Untuk sang kades, pasal 374, tentang ‘penggelapan’: maksimal 5 tahun. Untuk yang lain, pasal 480, tentang ‘penadahan’: maksimal 4 tahun.

Siapa yang suka dipenjara? Tidak ada. Semoga kasus ini menjadi pembelajaran. Tahu aturan, dan ikut aturan. Itu saja kuncinya.

“Bentara” FLORES POS, Senin 19 Oktober 2009

Tidak ada komentar: