02 Oktober 2009

DPRD “Tidak Mau Tau”

DPRD Manggarai Usulkan Dana Bimtek Rp700-an Juta

Oleh Frans Anggal

DPRD Kabupaten Manggarai mengusulkan dana Rp700-an juta untuk bimtek ke Jakarta. Usulannya baru disampaikan karena dalam anggaran induk tidak ada nomenklatur bimtek. Maka, terpenuhi atau tidaknya usulan dewan akan ditentukan dalam sidang perubahan anggaran. Demikian warta Flores Pos Jumat 2 Oktober 2009.

Rp700-an juta untuk 40 anggota dewan. Dirata-ratakan, tiap orang habiskan Rp17,5 juta. Jumlah ini jauh di atas anggaran bimtek DPRD Sulawesi Selatan, Rp800 juta untuk 75 anggota. Rata-rata per orangnya cuma Rp10 juta. Apalagi kalau dibandingkan dengan anggaran bimtek 54 DPRD NTT yang hanya Rp424 juta. Per orangnya cuma Rp7,8 juta.

Kayakah Manggarai? Tidak. Sebaliknya malah, miskin. Lalu, kenapa DPRD-nya mengusulkan anggaran gila-gilaan? Jawabannya bisa saja rasional, tapi pasti tidak realistis. Acuan jawaban rasional adalah logika anggaran: kalau ada dananya, kenapa tidak dihabiskan. Sedangkan acuan jawaban realistis adalah logika keterwakilan: di tengah konstituen yang mayoritas miskin koq tega-teganya wakil rakyat berfoya-foya.

Kalau Bertold Brecht masih hidup dan dimintai tanggapannya, mungkin penyair kelahiran Augsburg, Jerman, 10 Februari 1898, ini akan merevisi puisinya “Hymne kepada Tuhan” menjadi “Hymne kepada Tuan” untuk dipersembahkan kepada DPRD Manggarai. Nun jauh di gelap lembah,orang-orang lapar sekarat / Kau perlihatkan roti padanya, tapi kau biarkan mereka mati / Sedangkan kau bertakhta ... / Tak tersentuh / Gemilang dan keji ....

Mengusulkan dana bimtek Rp700-an juta di tengah kenyataan Manggarai yang masih miskin samalah dengan memperlihatkan roti kepada orang-orang lapar. Para wakil rakyat itu gemilang, karena berkelimpahan. Tapi keji, karena tak berhasrat untuk berbagi. Mereka hanya memperlihatkannya tanpa beritikad memberi. Setelah terpilih, mereka bertakhta, nun jauh di atas sana, sehingga tidak tersentuh.

Soal hubungan wakil rakyat dengan rakyat yang diwakili, Gilbert Abcarian (1967) bikin penggolongkan dalam empat tipe. Tipe partisan: utamakan pertimbangan partai. Tipe trustee: utamakan pertimbangannya sendiri. Tipe delegate: utamakan pertimbangan konstituen. Dan, tipe politico: gabungkan semua tipe plus keterikatan pada hati nurani. Wakil rakyat tipe politico akan selalu bertindak atas dasar pertimbangan pemilih (constituency), partai asalnya (party), dan juga hati nuraninya (conscience).

Ke dalam tipe apa 40 anggota DPRD Manggarai bisa digolongkan? Tipe politico pasti tidak. Mereka tidak peka dengan kemiskinan konstituen. Mereka tak punya empati pada rakyat yang terdera derita. Tak punya sense of crisis. Dan itu berarti tumpul nurani.

Mengecewakan. Mereka dipilih secara langsung. Terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini diandalkan dapat mendorong pergeseran pola hubungan anggota legislatif dengan pemilih: dari tipe partisan ke tipe politico atau sekurang-kurangnya tipe delegate.

Aneh. Di Manggarai, yang diandalkan itu koq tidak jalan. Padahal, sistem pemilunya langsung, dengan suara terbanyak. Ritus peresmiannya pake sumpah, menghadirkan Tuhan. Sesudah itu, syukuran sana sini. Kenapa yang diteorikan bisa kandas semua?

Jangan-jangan Gilbert Abcarian salah bikin teori. Ia tidak tahu, di Manggarai masih ada satu tipe. Ciri-cirinya: tidak pake pertimbangan partai, tidak pake pertimbangan konstituen, dan tidak pake pertimbangan nurani. Ini tipe khusus bin spesial. Namanya: tipe tidak mau tau.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 3 Oktober 2009

Tidak ada komentar: