Seorang Kades Bikin Aturan Baru
Oleh Frans Anggal
Raskin bermasalah lagi di Flores. Kali ini di Kabupaten Sikka, di Kecamatan Bola, di Desa Wolonwalu. Sang kades, Minsia, bikin aturan baru. Tiap KK penerima raskin wajib bayar Rp75.000 uang pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bayar dulu uang itu, baru boleh beli raskin Rp1.600 per kg. Warga Dusun Ili protes. Mereka mengadu ke kejaksaan. Demikian warta Flores Pos Kamis 29 Oktober 2009.
Ini kasus ketiga yang menonjol dalam dua bulan terakhir. Sebelumnya, di Manggarai dan Ende. Di Manggarai, di Kecamatan Satar Mese, di Desa Pongkor, raskin dijual ke pengusaha. Hasilnya, untuk ketua RT Rp200 ribu per orang, untuk kegiatan olahraga di kecamatan, dan untuk beli kerbau bagi perjamuan syukuran proyek Wae Cecu yang dihadiri rombongan bupati.
Di Ende, di Kecamatan Detusoko, di Desa Hangalande, raskin dijual kepada pengusaha. Hasilnya, untuk bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Keputusan ini diambil kades berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa.
Raskin memang riskan. Mudah diselewengkan. Pada kasus Manggarai dan Ende, persoalannya adalah peruntukannya yang salah. Sasaran raskin adalah rumah tangga miskin. Jual demi kepentingan lain tidak dapat dibenarkan, meski ada kesepakatan. Pada kasus Sikka, persyaratannyalah yang salah, meski peruntukannya benar. Kades memasukkan persyaratan yang tidak diatur dalam pedoman teknis pelaksanaan.
Si kades punya maksud baik. Ia ingin gedung PAUD beres. Ia peduli pada pendidikan. Sayang, kepeduliannya yang terpuji tidak diikuti cara yang terpuji pula. Dari sisi logika, ia sesatpikir. Namanya, ‘sesatpikir di luar pokok persoalan’ (fallacy of arguing beside the point). Dia mengaburkan dua persoalan yang jelas-jelas berbeda, sedemikian rupa sehingga alasan atau syarat bagi persoalan yang satu dipergunakan untuk mendukung atau membuat simpulan atau putusan dari persoalan yang lain.
Bangun gedung PAUD itu satu persoalan, dan penerimaan raskin itu persoalan yang lain. Masing-masing dengan persyaratannya agar bisa terwujud. Dua persoalan berbeda dengan persyaratan berbeda ini dicampur-adukkan oleh si kades. Persyaratan pembangunan gedung PAUD, yakni tiap KK wajib setor Rp75.000, ia jadikan persyaratan bagi penerimaan raskin.
Dengan kata lain, dalam sesatpikir ini, si kades memasukkan persyaratan asing. Persyaratan yang tidak relevan. Persyaratan yang tidak ada tali-temalinya dengan persoalan pokok. Logika menamakan sesatpikir ini ‘sesatpikir tanpa pertalian’ (fallacy of irrelevancy).
Pertanyaan kita: apakah ini hanya persoalan sesatpikir? Untuk sementara, sekadar tak gegabah memvonis si kades, jawabannya: ya. Namun dengan penekanan, sesatpikir di sini bukan ‘sesatpikir menurut bentuk’ (formal fallacies), tapi ‘sesatpikir menurut isi’ (material fallacies). Yaitu, menyangkut kenyataan yang sengaja disesatkan oleh si kades. Oleh karena itu, si kades tidak bisa tidak bertanggung jawab. Tidak bisa tidak bertanggung gugat.
Karena negara ini negara hukum, dan yang dilakukannya menyangkut persoalan publik yang sengaja disesatkan, dan itu berarti melawan hukum, maka si kades patut diproses hukum. Melalui proses hukum akan jelas, apa saja kesalahannya. Atas dasar itulah ia akan paham kenapa harus berbenah. Atas dasar itu pula masyarakat dapat memaafkannya. Kenapa tidak.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 30 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar