Kemajuan Bukan Bukti Tak Adanya Korupsi
Oleh Frans Anggal
Otonomi Lembata genap 10 tahun, Senin 12 Oktober 2009. Dalam pidatonya, Bupati Andreas Duli Manuk menangkis kritikan bahwa 10 tahun otonomi penuh dengan kegagalan. Tidak benar, katanya. Ia lalu membeberkan bukti adanya pertumbuhan. Singkatnya, 10 tahun otonomi, banyak kemajuan.
Dengan bukti-bukti itu, Bupati Manuk benar. Ada pertumbuhan. Ada kemajuan. Namun, hanya sampai di situ. Selanjutnya ia salah ketika pertumbuhan itu ia jadikan bukti tidak adanya kegagalan. Mungkin ia terkecoh atau sengaja membaca ‘teks’ para pengkritik dengan cara tertentu.
Dalam banyak pernyataan sikap, terutama saat demo, para pengkritik suka bikin rumusan melangit. “Pembangunan Lembata gagal total”. “Kepemimpinan Bupati Manuk gagal toal”. “Sepuluh tahun otonomi Lembata tidak maju-maju”. Rumusan seperti ini khas demonstran, yang dari sononya suka demonstratif. Menonjolkan sesuatu dengan cara melebih-lebihkannya.
Yang perlu diselami, apa di balik ‘teks’ yang melangit itu. Kekecewaan! Apa yang mengecewakan? Korupsi! Dalam pidatonya, Bupati Manuk tidak sedikit pun menyinggung korupsi. Padahal, inilah biang kerok lahirnya kritik dan demonstrasi. Inilah pokok soal dari cap “gagal total” dan “tidak maju-maju” itu.
Karena biang keroknya korupsi, maka tangkisan Bupati Manuk dengan menyebutkan bukti adanya pertumbuhan atau kemajuan sungguh tidak relevan. Mengapa? Sebagaimana kemajuan bukan bukti tidak adanya kegagalan, demikian pula pertumbuhan bukanlah bukti tidak adanya korupsi.
Dengan atau tanpa korupsi, pertumbuhan tetap ada. Contoh paling bagus tentang hal paling buruk ini: Indonesia. Tak ada yang menyangkal, birokrasi Orde Baru terkenal korup. Tak ada pula yang menyangkal, birokrasi korup ini pernah menghasilkan angka pertumbuhan yang mencengangkan dunia. Dan akhirnya tak ada juga yang menyangkal, birokrasi yang sama membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Sekarang pertumbuhan membaik lagi. Apa itu bukti berkurangnya korupsi? Justru tidak. Bersamaan dengan pertumbuhan itu, korupsi jalan terus. Malah semakin melembaga dan menyebar. Dari pusat sampai daerah. Dari eksekituf sampai legislatif dan yudikatif.
Jelaslah kiranya: adanya pertumbuhan, adanya kemajuan, bukanlah bukti berkurang atau tidak adanya korupsi. Dalam hal seperti ini, korupsi itu minyak pelumas roda birokrasi. Sogokan (ini termasuk korupsi) memperlancar segala urusan. Di sini, korupsi menjadi ‘dosa wajib’ yang memperlancar roda birokrasi, justru dalam urusan pertumbuhan atau kemajuan.
Dalam hal seperti ini pula, para koruptor memerankan diri sebagai bandit tak bergerak (stationary bandit). Bandit jenis ini tidak merampok korbannya sampai habis. Rampoknya sedikit demi sedikit, secara berkala. Ia juga tidak bakal membunuh korbannya. Sebab, kalau korbannya mati, ia tidak mungkin lagi merampok secara berkala. Maka, korbannya dipelihara, lebih bagus kalau semakin gemuk, karena dengan itu semakin banyak bagian yang bisa dijarah.
Dengan kata lain, ekonomi harus dibiarkan bertumbuh agar selalu ada bagian yang bisa dikorupsi. Sebuah daerah otonom seperti ini jelas merupakan daerah otonom yang gagal. Bukan karena tidak adanya kemajuan, tapi karena tidak bisa mengurangi, apalagi memberantas korupsi. Sebaliknya, menyuburkannya, sambil menyangkalnya dengan menyebutkan kemajuan sebagai bukti. Padahal, adanya kemajuan bukanlah bukti tidak adanya korupsi. Sebaliknya, kemajuan itu pertanda ada bagian yang sudah dicaplok.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 14 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar