Ada yang Dukung, Ada yang Tidak
Oleh Frans Anggal
Presiden AS Barack Obama dianugerahi Nobel Perdamaian. Anugerah senilai 1,4 dolar AS ini akan diberikan di Oslo, 10 Desember 2009.
Komite Nobel menilai Obama layak. Sejak dilantik jadi presiden 20 Januari 2009, Obama mengupayakan secara luar biasa pemerkuatan diplomasi internasional dan kerja sama antar-bangsa. Ia menyerukan peniadaan senjata nuklir dan memulai kembali perkuatan proses damai Timur Tengah. “Jarang sekali ada orang yang menyamai Obama dalam mencuri perhatian dunia, sekaligus memberi manusia harapan untuk sebuah masa depan lebih baik,” kata Panitia Nobel.
Ada yang dukung, ada yang tidak. Reaksi negatif datang dari dunia Arab. Mereka menilai ini lelucon memalukan. AS masih pemilik arsenal nuklir terbesar. Tentaranya masih menumpahkan darah. Masalah Irak dan Afganistan belum tuntas. Obama belum berbuat apa-apa. Orang yang ‘mau mengubah’ itu belum mengubah apa pun. Obama tidak layak.
Anugerah Nobel memang terkadang diwarnai kontroversi. Ketika Boris Pasternak menerima Nobel Sastra, pemerintah Rusia Soviet marah karena Pasternak anti tirani komunisme. Ketika Lech Walesa dianugerahi Nobel Perdamaian, pemerintah komunis Polandia marah karena Walesa dianggap musuh negara. Ketika Uskup Desmond Tutu dihadiahi Nobel Perdamaian, pemerintah Afrika Selatan marah karena Desmond Tutu itu anti-apartheid.
Hal serupa terjadi di Indonesia, 1996, ketika Uskup Belo dan Ramos Horta dapat Nobel Pedamaian. Reaksi pemerintah Soeharto begitu negatif. Akibatnya, citra diplomasi internasional Indonesia hancur. Di mata dunia, cara beraksi Indonesia sama persis dengan cara Rusia Soviet Komunis, Polandia Komunis, dan Afrika Selatan Rasis Apartheid.
Dalam negeri, reaksi tolol para pejabat menjadi senjata makan tuan. Simpati rakyat Timtim terhadap Indonesia, yang sudah dibangun susah payah, melorot ke titik nol. Menlu RI Ali Alatas menyadari kefatalan ini: “Mulai sekarang kita hanya harus menanjak lereng gunung terjal.” Benar. Dua tahun berselang, 1999, Timtim lepas dari NKRI.
Cara bereaksi Indonesia mengukuhkan ucapan Uskup Belo dalam wawancara dengan BBC. “Bangsa Indonesia itu bangsa yang besar, tetapi jiwanya kecil.” Romo Mangunwijawa menilai Uskup Belo keliru. “Kali ini beliau keliru: yang berjiwa kecil bukan bangsa Indonesia, akan tetapi pejabat-pejabat Indonesia dan pemimpin agama.”
Lho, koq, pemimpin agama? Jujur saja. Sikap Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) saat itu dingin, sedingin es kutub. Sementara pejabat Katolik eselon tinggi menilai Uskup Belo tidak pantas sejajar dengan Uskup Demond Tutu, Mother Theresa, dll. Orang Katolik ini sungguh kasihan. Takut, takut, takut. Cari selamat.
Ini pengalaman buruk. Semoga tidak berulang, temasuk ketika kita mereaksi anugerah Nobel bagi Obama. Kekeliruan sering terjadi karena orang tidak proporsional. Panitia Nobel punya kriterianya. Semestinya orang menilai dengan kriterianya Panitia Nobel itu, bukan dengan kriteria made in pribadi.Kalau pakai kriteria pribadi, bikin saja Nobel sendiri.
Dalam memenangkan Obama, Panitia Nobel menggukan kriteria yang dapat kita padatkan dalam satu kata: hope. Harapan. Harapan akan dunia yang lebih damai. Dunia memang masih gelap. Namun Obama tidak mengutuknya. Sebaliknya, ia menyalakan sebatang lilin. Nyalanya masih kecil. Namun ada harapan, nyala kecil itu akan menyalakan lilin-lilin lain.
“Bentara” FLORES POS, Senin 12 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar