Piutang pada DPRD dan Pejabat Eksekutif
Oleh Frans Anggal
Naas menimpa Perusahaan Daerah (PD) Purin Lewo Lembata. Dalam laporannya kepada DPRD, ia terlilit piutang. Antara lain, pada anggota DPRD dan pejabat eksekutif. Sebanyak 19 anggota DPRD 2004-2009 belum melunasi kredit motor Rp233 juta. Pejabat eksekutif pun mengebon barang hingga ratusan juta rupiah. Demikian warta Flores Pos Kamis 8 Okotber 2009.
Piutang. Arti sederhananya: ada uang tapi masih di tangan orang. Uang bon yang belum tertagih. Jumlah dan lamanya piutang bisa bikin bangkrut sebuah perusahaan. Di kampung, banyak kios mati karena bon. Di Flores, media seperti Bentara dan Anak Bentara jadi almarhum karena piutang yang tidak tertagih. Orang Flores setia membaca tapi tak setia membayar.
Nasib yang sama mengintai Purin Lewo. “Salah satu penyebab perusahaan daerah ini tidak maju, bahkan sempat bangkrut, karena besarnya utang mantan aggota DPRD dan pejabat eksekutif di Lembata.” Ini dilontarkan Direktur PD Purin Lewo, Enzo Korohama. Penyakit keturunannya sama: setia mengambil dan menggunakan barang tapi tak setia membayar tagihan.
Dalam kasus kios bangkrut di kampung, yang tidak setia membayar itu orang-orang kebanyakan. Dalam kasus media Flores yang almarhum, yang tidak setia itu pelanggan yang kebanyakan ‘kelas menengah’. Sedangkan dalam kasus Purin Lewo, yang tak setia itu para pejabat legislatif dan eksekutif.
Kios di kampung itu milik keluarga. Media di Flores itu milik swasta. Purin Lewo di Lembata itu milik daerah. Langsung atau tidak langsung, uang masyarakat Lembata ada di sana. Namun, apa yang diperoleh masyarakat dengan kehadiran perusahaan daerah ini? Praktis, kurang atau bahkan tidak ada sama sekali. Tidak demikian untuk para elite daerah.
Kasus anggota DPRD yang belum melunasi kredit motor Rp233 juta dan pejabat eksekutif yang bon barang hingga ratusan juta rupiah mengesankan satu hal. Purin Lewo seakan-akan bukan perusahaan daerah, tapi perusahaannya elite daerah. Mau diapakan perusahaan ini, suka-sukanya mereka. Dan sukanya, perusahaan ini menjadi sapi perah. Maka, perusahaan daerah pun menjadi perusahaan sapi perahnya pejabat. Susunya mereka ambil, sapinya mereka terlantarkan.
Yang terjadi pada Purin Lewo kurang lebih begitu. Anggota DPRD dan pejabat eksekutif menikmati ‘susu’ kemudahan dari perusahaan daerah ini berupa kredit dan bon. Lalu? Habis manis, sepah dibuang. Habis susu, sapi ditendang. Kredit tidak dicicil. Bon tidak dibayar. Mungkin mereka bilang, bukan ‘tidak’ bayar, tapi ‘belum’ bayar. Benar. Tapi jangan lupa, banyak perusahaan hancur justru karena ‘belum’ itu. Purin Lewo sendiri sudah mengalami apa dampak dari ‘belum’.
Per definisi, ini bukan korupsi. Tapi merunut dampaknya, tak ada bedanya dengan korupsi. Ambruknya nilai dan kinerja perusahaan. Melubernya inefisiensi sumber daya publik. Dan hilangnya kepercayaan publik. Dampak ini mengukuhkan keyakinan, ini sebuah kejahatan.
Kalau ini kejahatan, pelakunya adalah bandit. Bandit cerdas tak akan merampok habis korbannya. Ia merampok sedikit namun berkala di wilayah ranahnya. Ia tak akan membunuh korbannya. Korban dibiarkan tumbuh agar selalu ada bagian yang bisa digerogoti. Seperti benalu yang ‘baik’, ia tidak mengisap mati inangnya.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 9 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar