Bimtek DPRD Mabar ke Jakarta
Oleh Frans Anggal
Di DPRD Mabar saat ini ada makhluk langka. Namanya, Bernadus Barat Daya. Ketika yang lain rame-rame bimtek ke Jakarta, ia memilih tidak ikut. Bukan menolak bimtek, ia menolak harus ke Jakarta. Sebab, bimtek bisa di Labuan Bajo. Lebih efektif, lebih efisien, lebih ekonomis.
Menurut Barat Daya, dengan ke Jakarta maka uang dari pusat yang diberikan ke daerah dikembalikan lagi ke pusat. “Ini ditengarai hanya semacam ‘mafianya’ pihak pusat,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 3 Oktober 2009.
Sayang, dari 29 anggota DPRD Mabar, hanya ada satu Bernadus Barat Daya. Ia rajawali yang terbang sendirian. Eagle flies alone. Lainnya, maaf beribu maaf, beo belaka. Pusat bilang bimtek, langsung mau. Pusat bilang ke Jakarta, langsung bernafsu. Kenapa?
Jawabannya: kesempatan. Kapan lagi ke Jakarta untuk pertama kali sebagai wakil rakyat kalau bukan sekarang ‘melalui’ bimtek? Kata ‘melalui’ sengaja kita pakai untuk menunjukkan, bimtek sebagai actus (kegiatan) hanya sekadar medium, sarana, bahkan dalih, untuk mencapai tujuan Jakarta sebagai locus (tempat). Dengan kata lain, yang memesonakan bukan actus-nya, tapi locus-nya. Bukan bimtek-nya, tapi Jakarta-nya.
Bimtek sendiri bisa dilakukan di daerah. Instrukturnya bisa orang di daerah, asalkan ahli. Kepastian ini disampaikan DPRD Lembata. Mereka bilang, ternyata bimtek itu hak, bukan kewajiban. Ternyata juga, bisa dilakukan di Lewoleba. Mereka omong begini setelah pulang bimtek lulu. Sebelumnya, tidak omong. Sebab, kalau omong, ke Jakarta-nya bisa batal. Padahal, Jakarta itulah tujuan mereka, bukan bimtek-nya.
Memangnya bimtek itu seperti apa? Ketua Sementara DPRD Sulawesi Selatan Moh Roem bersaksi. Dari pengalaman bimtek sebelumnya, pemateri Depdagri sekadar datang membacakan materi yang ada di buku! DPRD Sulsel sendiri, meski anggaran bimteknya Rp800 juta untuk 75 anggota, berencana melakukan boikot. “Prinsipnya, kami setuju jika bimtek tidak harus dilakukan di Jakarta,” kata Moh Roem, seperti ramai diberitakan beberapa media Makassar, Kamis 1 Oktober 2009.
Kata Moh Roem, apabila digelar di Jakarta, bimtek akan menghabiskan biaya Rp800 juta. “Kalau digelar di Makassar, DPRD bisa menghemat hingga 70%. Anggaran yang dihemat itu bisa untuk mengobati ratusan anak yang menderita gizi buruk di Sulsel.”
Di Manggarai Barat, yang seperti ini hanya Bernadus Barat Daya. Di Lembata ada, 5 orang. Lainnya, massa, atau lebih tepat kerumunan. Ciri khas kerumunan adalah anonimitas. Yang begini, gampang jadi beo. Pusat bilang bimtek, langsung mau. Pusat bilang ke Jakarta, langsung bernafsu. Padahal, bimtek tidak wajib. Ke Jakarta tidak harus. Tidak efektif, tidak efisien, dan tidak ekonomis.
Lalu, kenapa mukut ke Jakarta? Jawabannya, seperti kata lagu Mbah Surip: tak gendong ke mana-mana, enak to, mantap to, hahaha.... Privilese! Di sini, ‘wakil rakyat’ dipandang hanya sebagai ‘status’, bukan sebagai ‘panggilan’. Mereka punya sense of status, tanpa sense of mission sebagai wakil rakyat. Status itu nomor satu, karena menyertakan privilese tadi: enak to, mantap to, hahaha .... Sedangkan panggilan itu nomor sekian, karena mendesakkan pengabdian dan pengorbanan yang sering justru harus mengurangi atau menghilangkan privilese.
“Bentara” FLORES POS, Senin 5 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar