Kasus Bupati Ende vs Wartawan
Oleh Frans Anggal
Forum Solidaritas Anti Kekerasan (FSWAKA) Kabupaten Ende mendatangi DPRD dan Polres Ende, Rabu 30 September 2009. Mereka menyampaikan seruan moral terkait kasus peludahan terhadap wartawan Stef Bata yang dilakukan Bupati Ende Don Bosco M Wangge pada Kamis pekan sebelumnya.
Seruan moral FSWAKA antara lain menyatakan mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap pekerja pers. Mereka meminta DPRD mengontrol proses hukum kasus ini. Sedangkan kepada polres, mereka meminta proses hukum yang bersih, cepat, dan tuntas.
Forum ini menamakan diri “forum solidaritas”. Aksi dan seruan mereka merupakan wujud solidaritas. Apa lantas cuma sebatas solidaritas? Tentu tidak. Ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekadar solidaritas. Kepentingan warga! Apa itu? Hak untuk tahu (right to know).
Demi memenuhi hak warga inilah, pers menghasilkan berita. Dan berita yang dibutuhkan warga adalah berita bermutu. Hanya dengan menerima berita bermutu, warga bisa mengambil keputusan bermutu. Karena itu, tepat kalau dikatakan: pers bekualitas, masyarakat cerdas.
Apa itu berita bermutu? Berita bermutu adalah berita yang benar. Dan kebenaran hanya bisa dibangun melalui verifikasi. Esensi jurnalisme justru terletak di sini: disiplin melakukan verifikasi. Disiplin ini mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, dan manipulasi, guna mendapatkan informasi akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau dongeng.
Disiplin melakukan verifikasi hanya mungkin kalau pers memiliki kebebasan. Kekerasan kepada pekerja pers justru mengahalangi, mengurangi, bahkan menghilangkan kebebasan itu. Bila kebebasan pers hilang maka korban langsungnya adalah warga. Haknya untuk tahu ditutup.
Dengan dasar pemikian ini, aksi dan seruan moral FSWAKA patut dihargai. Di sisi lain, dengan dasar pemikiran ini pula, pekerja pers mesti mawas diri. Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap wartawan dipicu oleh lemahnya disiplin verifikasi. Dalam kasus Bupati Don, persis itulah soalnya. Tindakan sang bupati dipicu pemberitaan sang wartawan yang dinilainya tidak berimbang, tanpa kroscek, tanpa hak jawab.
Hingga di sini, kita menyimpulkan: baik Bupati Don maupun Stef Bata sama-sama salah. Yang satu melakukan ‘tindak kekerasan’ dengan meludah, yang lain melakukan ‘tindak kekerasan’ dengan mengabaikan verifikasi. Dengan masing-masing tindakannya, keduanya sudah saling merugikan. Maka, keduanya bisa saling menggugat melalui proses hukum.
Namun, dengan posisi satu-satu seperti ini, perlukah langkah hukum ditempuh? Ataukah ada langkah lain, yang secara tersurat sudah disampaikan Bupati Don melalui pemberitaan pers? Sang bupati sudah mengakui tindakannya salah. Ia menyesal. Ia minta maaf kepada korps wartawan. Ia pun mau minta maaf kepada korban. “Kalau pintu maaf dibuka, saya masuk.” Dia pun sudah bertekad untuk berubah: “Mudah-mudahan ini pertama dan terakhir kali.”
“Bentara” Flores Pos Sabtu 26 September 2009 mengapresiasi sikap Bupati Don sebagai sikap rendah hati (humble). Potensi untuk rendah hati dan berubah tentu juga ada pada diri seorang Stef Bata. Tinggal diaktualisasikan. FSWAKA diharapakn turut berpean. Sebab, sebagai kekuatan moral, FSWAKA telah membuat seruan moral. Tinggal kini, tindakan moral, dengan melakukan pilihan moral. Pilihan terbaik adalah win-win solution. Dengan kata lain: rekonsiliasi.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 2 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar