22 Oktober 2009

Lembata dan ‘Bupati-Pilot’

DPRD Nilai Bupati Manuk Tidak Betah di Lembata

Oleh Frans Anggal

“Saya bukan pesiar.” Begitu kata Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dalam rapat kerja dengan DPRD, Selasa 20 Oktober 2009. Ia menanggapi sorotan dewan yang menilainya tidak betah di Lembata. Terlalu sering ke luar daerah. Sudah kebiasaan: 1 hari di Lembata, 6 hari di luar. Akibatnya, dewan sulit mambahas berbagai masalah bersama bupati.

Menurut Bupati Manuk, ia ke luar daerah karena urusan dinas. Perjalanan itu perjalanan dinas. Dan perjalanan dinas itu bisa ia pertanggungjawabkan. Jadi, “Saya bukan pergi pesiar.” Demikian warta Flores Pos Rabu 21 Oktober 2009.

Jawaban bupati perihal ke luar daerah, benar seratus persen. Ke luar daerah, karena urusan dinas. Karena urusan dinas, ke luar itu merupakan perjalanan dinas. Karena perjalanan dinas, maka SPPD ada. Karena SPPD ada, maka dana ada. Karena dana ada dan dimanfaatkan, maka bukti ada: kuitansi, tiket, dll. Ini bukti sah dan penting. Olehnya, bukti ini sulit untuk tidak diadakan. Karena, justru dengannya, perjalanan dinas dapat dipertanggungjawabkan.

Jawaban benar seratus persen ini, sayangnya, hanya benar untuk hal yang justru bukan inti sorotan dewan. Yang disoroti dewan bukan perjalanan dinasnya, tapi seringnya itu. Satu hari di Lembata, enam hari di luar. Mungkin yang dilukiskan DPRD ini berlebihan. Mudah-mudahan cuma gaya bahasa, bukan fakta. Kalau ini fakta, kasihan Lembata, dipimpin oleh ‘pilot’, bukan oleh ‘bupati’.

Prestasi pilot terletak pada jumlah jam terbang. Prestasi bupati? Bisa terletak pada jam terbang juga. Namun, pertanyaannya: terbang ke mana? Kalau terbangnya di dalam daerah dan lebih banyak dalam daerah, ini namanya ‘bupati-luar-biasa’. Sebaliknya, kalau terbangnya ke luar daerah dan lebih banyak luar daerah, ini namanya ‘bupati-biasa-di-luar’.

Spirit otonomi daerah mengidealkan ‘bupati-luar-biasa’, bukan ‘bupati-biasa-di-luar’. Credonya ini. Pergilah kepada masyarakat. Tinggallah bersama masyarakat. Layanilah masyarakat. Belajarlah dari masyarakat. Berencanalah bersama masyarakat. Bekerjalah bersama masyarakat. Mulailah dengan apa dimiliki masyarakat. Bersaksilah kepada masyarakat melalui teladan.

Seorang ‘bupati-biasa-di-luar’ tidak akan bisa melaksanakan credo itu. Padahal, spirit otonomi daerah menuntutnya harus begitu. Bagaimana mungkin memenuhi amanat “tinggallah bersama masyarakat” kalau bupati cuma 1 hari di daerah dan 6 hari di luar? Kalau tinggal bersama masyarakatnya cuma sehari sepekan, bagaimana bisa ia optimal melayani masyarakat? Belajar dari masyarakat? Berencana bersama masyarakat? Bekerja bersama masyarakat? Menjadi teladan bagi masyarakat?

Ini sudah masalah besar pada Bupati Manuk, sejauh disoroti DPRD dalam beberapa kali rapat kerja. DPRD sudah mengeluh. Saking seringnya bupati di luar daerah, dewan sulit mambahas dan menyelesaikan berbagai masalah di Lembata. Bupati memang bisa mewakilkannya pada wabup atau sekda. Namun, dalam beberapa kasus, jawaban mereka ujung-ujungnya: tunggu bupati. Apa yang bisa segera diselesaikan, terpaksa ditunda hanya karena bupati tidak hadir.

Itu baru keluhan dewan. Bagaimana pula keluhan masyarakat? Boleh jadi tidak terdengar. Tapi bukan berarti tidak ada. Masyarakat sering diam untuk hal yang sulit mereka ubah. Ini namanya ‘kesadaran palsu’ atau mistifikasi. Mereka tampak ikhlas menerima, bupati mereka memang begitu. Bukan ‘bupati-luar-biasa’, tapi ‘bupati-biasa-di-luar’. Alias, ‘bupati-pilot’.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 23 Oktober 2009

Tidak ada komentar: