Catatan tentang Kesalahan Berbahasa
Oleh Frans Anggal
“Masyarakat Pulau Ende Sepakat Deklarasikan Bebas BAB”. Demikian judul berita Flores Pos Selasa 20 Oktober 2009. BAB, singkatan dari ‘buang air besar’. Dalam alinea pertama tertulis, masyarakat Kecamatan Pulau Ende yang tersebar di tujuh desa, sepakat mengadakan deklarasi bebas BAB di sembarang tempat pada November 2010. Deklarasi ini merupakan tindak lanjut program Unicef yang sejak tiga tahun silam merintis air minum bersih dan penyehatan lingkungan di pulau itu.
Dilihat dari konteksnya, istilah “bebas BAB” itu berterima. Orang paham maksudnya apa. Mulai November 2010, masyarakat Pulau Ende tidak lagi BAB di sembarang tempat. Mereka sudah punya jamban keluarga dan jamban umum. BAB-nya di situ, bukan lagi di kebun atau pinggir pantai. Mereka dibebaskan dari pola lama, dan masuk ke pola baru yang bersih dan sehat. Itulah makna kata “bebas” dalam istilah “bebas BAB”.
Dengan penjelasan ini, istilah “bebas BAB” kurang lebih sama dengan “bebas asap rokok”, “bebas malaria”, yang berarti “tanpa asap rokok”, “tanpa malaria”. Sampai di sini, “bebas BAB” terkesan benar. Padahal, justru sebaliknya. Istilah itu salah seratus persen. Makna leksikalnya bertolak belakang dengan maksud si pengucap.
Dandim Ende Letkol (Inf) Frans Thomas merupakan salah seorang pembaca yang menyadari kesalahan dalam istilah ini. Melalui SMS, ia memberikan catatan. “Menurut saya, bebas BAB di sembarang tempat pada November 2010 malah akan mengakibatkan lingkungan kotor dan tidak sehat.”
Betul sekali. Bayangkan: apa yang terjadi kalau masyarakat sepakat untuk bebas BAB di sembarang tempat. Bisa di jalan raya, di kintal rumah, di halaman kantor. Jadinya, tidak beda dengan sapi, kerbau, dan kambing di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat.
Di Labuan Bajo, ternak tidak diikat, tidak dikandangkan. Sapi, kerbau, dan kambing bebas berkeliaran. Bebas merumput di mana-mana. Dan tentu bebas pula BAB di mana-mana. Di kebun, di pekarangan rumah, di jalan raya, di halaman kantor. Cocoknya, ternak di Labuan Bajo inilah yang mencanangkan deklarasi bebas BAB di sembarang tempat. Bukan masyarakat Pulau Ende.
Kalau begitu? Masyarakat Pulau Ende jangan gunakan lagi istilah yang salah itu! Segera ganti dengan istilah yang tepat. Istilah yang sesuai dengan maksudnya yang luhur . Karena itu, deklarasikanlah “Stop BAB di Sembarang Tempat!” Atau, “Tertib BAB di Jamban!” Dan untuk tertib BAB, mulailah dengan tertib berbahasa, tertib beristilah. Jangan ikut bapak-bapak pejabat yang sering tidak logis dalam menggunakan bahasa dan istilah.
Satu contoh. Dari pusat sampai daerah, banyak pejabat menggunakan istilah “mengejar ketertinggalan”. Supaya maju alias tidak tertinggal, kita diajak oleh bapak-bapak ini untuk berjuang “mengejar ketertinggalan”. Persis seperti “bebas BAB di sembarang tempat” tadi, istilah ini salah seratus persen. Makna leksikalnya bertolak belakang dengan maksud si pengucap.
Bayangkan: mengejar ketertinggalan! Apa yang kita dapat? Ketertinggalan! Kita memperoleh apa yang kita kejar. Di negara lain, masyarakatnya diajak untuk mengejar kemajuan. Maka, yang mereka peroleh: kemajuan. Di negara kita, malah sebaliknya. Mengejar ketertingggalan. Pantasan tertinggal teruuuus .
“Bentara” FLORES POS, Kamis 22 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar