05 Oktober 2009

Polda NTT Tak Profesional?

Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Kepala Divisi Advokasi Hukum dan HAM dari Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI, Azaz Tigor Nainggolan, menilai penyidik Polda NTT tidak profesional menangani kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Sudah hampir setahun, BAP kasus ini bolak-balik polisi-jaksa. Ini terjadi karena polisi belum memenuhi semua petunjuk yang diberikan jaksa penuntut umum (JPU) .

Berbeda dengan penilaian terhadap polisi yang bernada negatif, penilaian terhadap JPU cenderung positif. Nainggolan menilai JPU memiliki komitmen kuat menuntaskan kasus ini. Penilaian disampaikan dalam jumpa pers di Bajawa, Jumat 2 Oktorber 2009, dan diwartakan Flores Pos Senin 5 Oktober.

Apa dasar Nainggolan menilai seperti itu? Sayang, tidak lengkap diberitakan. Yang tampak dari pemberitaan, penilaian tersebut lahir dari kenyataan bolak-balik BAP yang hampir setahun. Apakan ini melulu salahnya polisi? Ataukah juga, mungkin justru, karena tidak becusnya jaksa?

Versi jaksa, BAP bolak-balik karena polisi belum memenuhi semua petunjuk jaksa. Jadi, biang keroknya polisi. Lalu, atas informasi ini, kita menilai polisi tidak profesional. Penilaian ini tidak objektif kalau kita tidak tahu apa persisnya petunjuk jaksa. Kalau yang diminta jaksa hal tidak masuk akal, tidak relevan, apakah patut polisi dinilai tidak profesional karena tidak mampu memenuhi permintaan itu?

Mari tengok kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air PDAM Ende. Jaksa pernah meminta polisi memenuhi hal yang menurut polisi mengada-ada. “Bentara” Flores Pos Kamis 11 Juni 2009 menyoroti hal ini dengan judul “Lelucon Kasus PDAM Ende”.

Bayangkan, jaksa meminta polisi menanyai para tersangka, apakah mereka sadar melakukan korupsi. Aneh. Kalau para tersangka mejawab ”tidak sadar”, mau apa? Bisakah dipercaya, orang melakukan korupsi sambil tidak sadar? Korupsi sambil mengigau? Selain tidak masuk akal, permintaan jaksa ini menyalahi prinsip hukum. Ignorantia iuris nocet. ‘Ketidaktahuan akan hukum mencelakakan’. Ketidaksadaran akan hukum tidak dapat dijadikan alasan di pengadilan. Maka, tidak perlu tanya tersangka sadar atau tidak. Hanya polisi tolol yang memenuhi petunjuk tolol seperti ini.

Akan halnya petunjuk Kejari Bajawa yang harus dipenuhi Polda NTT dalam kasus Romo Faustin, kita mau omong apa. Kita tidak tahu, apa persisnya petunjuk jaksa. Kita juga tidak tahu, apa yang sudah dan yang belum dipenuhi polda. Berbeda dengan bolak-balik BAP kasus PDAM Ende yang sedikit ada transparansinya, bolak-balik BAP kasus Romo Faustin berlangsung dalam sirkuit tertutup.

Dalam sirkuit tertutup, kita tidak tahu: siapa jujur siapa bohong, siapa pahlawan siapa bandit. Maka, kita tidak bisa serta merta menilai polisi tidak profesional, sedangkan jaksa punya komitmen kuat menuntaskan kasus. Dua-duanya tidak transparan koq.

Karena itu, yang tepat bukanlah memberi label, tapi menuntut transparansi. “Bentara” Flores Pos Jumat 11 September 2009 mendesak Kejari Bajawa transparan. BAP belum lengkap? Apanya yang belum? Sebutkan dengan jelas dan tegas. Publik berhak untuk tahu. Haknya dijamin UUD 1945 Pasal 28F dan UU No 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP). UU KIP hanya mengecualikan kerja intelijen, instalasi militer, dan hak intelektual. Lain-lainnya, termasuk alasan bolak-balik BAP, tidak pantas di-rahasia-negara-kan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 6 Oktober 2009

Tidak ada komentar: