13 Oktober 2009

Quo Vadis, Mabar?

Rawan Pangan dan Ketidakpedulian Pemkab

Oleh Frans Anggal

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2009, beberapa kali Flores Pos menurunkan berita rawan pangan di Mabar. Khususnya di Kecamatan Komodo. Di tiga desa: Nggorang, Golo Pongkor, Macang Tanggar. Rawan pangan terjadi karena gagal panen. Gagal panen terjadi karena bencana banjir dan serangan hama tikus.

Laporan sudah disampaikan ke pemkab. Tanggapan pemkab? Nol koma nol. Bantuan darurat belum turun-turun. Bukannya tidak ada, kata Asisten II Setda Gasa Maximus. Beras ada. Hanya, tidak bisa diturunkan begitu saja. Mesti tunggu surat perintah dari bupati.

Jadi, kuncinya ada di bupati. Ia pemegang kunci, sekaligus tokoh kunci. Hebat. Tapi dengan kunci itu pula ia dinilai. Dan penilaian dapat langsung diberikan. Bupati Mabar tidak peka dan tidak peduli. Kebutuhan akan pangan: sesuatu yang penting. Sedangkan ancaman rawan pangan: sesuatu yang genting. Yang penting dan genting menuntut respon yang cepat. Ini tidak terjadi. Dua minggu berlalu, bantuan belum turun-turun.

Jauh dari kesan tanggap dan peduli akan derita rakyat, bupati malah berwacana bahwa Mabar dibangun dalam lima sektor, tambang tidak boleh dipertentangkan dengan pariwisata, dll. Abstrak. Bahkan utopis, mimpi belaka, kalau lupa toleh ke bawah. Toleh ke kenyataan. Dan kenyataan itu adalah ini. Masalah utama rakyat Mabar adalah bagaimana bertahan tetap hidup (survival). Oleh karena itu, kegiatan utama bupati semestinya bagaimana memecahkan masalah itu (problem-solving).

Dua minggu lewat, bantuan pangan tidak turun-turun. Ini menunjukkan rangkaian proses pemecahan masalah tidak terjadi. Mandek. Mandeknya justru di tangan pemegang kunci dan tokoh kunci: bupati. Dia belum keluarkan SK untuk menurunkan bantuan. Di sini, pemegang kunci dan tokoh kunci yang seharusnya memperlancar proses pemecahan masalah, justru menghambat kelancaran itu. Aneh bin janggal.

Dalam keanehannya, skandal ini menyingkapkan satu hal penting. Apalagi kalau dikaitkan dengan tambang emas Mabar dan segala mimpi surgawinya. Pembangunan Mabar seakan telah terperangkap dalam utopia. Yang dimimpikan oleh bupati adalah “memperbesar kebahagiaan”. Sementara, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah “memperkecil penderitaan”.

Yang tidak disadari adalah, kita tidak tahu bagaimana membuat orang bahagia. Tapi kita tahu bagaimana mengurangi penderitaan seseorang. Maka, mengutip filosof Karl R. Popper, yang dibutuhkan bukannya “semakin banyak kebahagiaan bagi semakin banyak orang”, melainkan “semakin sedikit penderitaan (yang dapat dihindari) bagi semua orang”.

Inilah yang dibutuhkan masyarakat Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar. Mereka rawan pangan. Mereka perlu segera dibantu. Yang mereka butuhkan tidak berlebihan. Mereka butuhkan pangan darurat sekadar penyangga sambil menanti panenan berikut yang mudah-mudahan tidak gagal lagi. Yang mereka butuhkan cuma itu. Bukan supaya mereka “semakin bahagia”, melainkan sekadar agar mereka “tidak semakin menderita”. Yang mereka butuhkan saat ini bukan “makan supaya kenyang”, tapi “makan supaya tidak lapar”.

Mengecewakan. Bupati mereka tidak menempatkan diri dalam posisi dan situasi mereka. Tidak melihat dari sudut pandang mereka . Tidak ikut tergetar oleh sedu-sedan mereka. Tidak ikut tersayat oleh kepedihan mereka. Tidak menangkap rintihan mereka yang tak terucapkan. Tidak punya empati. Juga, tidak punya peduli. Quo vadis, Mabar?

“Bentara” FLORES POS, Selasa 13 Oktober 2009

Tidak ada komentar: