26 Oktober 2009

Sikka dan Kehormatan Dunia

Pengurusan Akta Kelahiran Gratis

Oleh Frans Anggal

Kabupaten Sikka dapat kehormatan tingkat internasional. Bupatinya, Sosimus Mitang, didaulat Plan International untuk jadi salah satu narasumber dalam forum di London, Inggris, 16 November 2009. Ia bawakan materi tentang pengurusan akta kelahiran gratis. Dia satu-satunya bupati di Indonesia yang terima kehormatan ini. “Semua materi sudah disiapkan,” katanya seperti warta Flores Pos Senin 26 Oktober 2009.

Sikka pantas untuk itu. Kabupaten ini berlakukan akta gratis sejak 13 Desember 2004. Dikukuhkan melalui Perda 14/2004. Di masa kepemimpinan Bupati Alexander Longginus dan Wabup Yos Ansar Rera. Ini langkah jauh ke depan ketika daerah lain masih ‘kolot’. Masih anggap dan perlakukan pencatatan kelahiran sebagai sumber pendapatan daerah. Selain ‘kolot’, tidak kreatif dan tidak inovatif. Cari gampang. Pungut sembarangan. Sampai tega melanggar hak anak.

Kita sudah punya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 5 UU ini mengamanatkan: setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Apa yang merupakan hak pada anak serentak menjadi kewajiban pada negara. Negara wajib memberikannya gratis. Dan karena anak menurut UU ini seseorang yang belum berusia 18 tahun, maka akta gratis berlaku bagi semua yang berusia di bawah 18 tahun.

Kabupaten Sikka berlakukan ini secara konsisten. Daerah lain? Masih pake tapi-tapian. Ini karena mereka merujuk UU No 23/2006 yang menggratiskan akta kelahiran hanya bagi anak berusia 0-60 hari. Di Manggarai Barat, misalnya, penggratisan hanya bagi yang kelahirannya dilaporkan tepat waktu. Di atas 60 hari, dipungut biaya. Untuk anak pertama dan kedua Rp20 ribu plus formulir Rp500. Untuk anak ketiga Rp30 ribu plus formulir Rp500. Ketentuan ini tertuang dalam Perda 15/2005.

Di Sikka tidak begitu. Di atas 60 hari, tetap gratis, asalkan ada keterangan dari pengadilan negeri. Dengan begini, Sikka konsisten pedomani UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu asas UU ini: non-diskriminasi. Justru asas inilah yang dikangkangi UU 23/2006, yang menggratiskan akta kelahiran hanya bagi anak berusia 0-60 hari.

Dengan UU 23/2006 yang diskriminatif ini, daerah lain ramai-ramai bikin pungutan. Ditetapkan melalui perda pula, seperti yang dibuat Manggarai Barat. Cela yang dibuka UU 23/2006 mereka gunakan betul. Padahal, cela itu melanggar asas non-diskriminasi yang dianut UU Perlindungan Anak. Cela itu merupakan langkah mundur bagi perlindungan anak. Dan, daerah yang memanfaatkannya adalah daerah ‘kolot’, diwawas dari kacamata HAM, khususnya hak asasi anak.

Justru di sinilah unggulnya Sikka. Di hadapan dua UU yang tidak sinkron itu, Sikka memilih amanat yang paling menguntungkan anak. Jelas, kiblatnya adalah perlindungan anak. Sedangkan pada daerah lain, kiblatnya penggemukan pundi-pundi daerah. Demi pundi-pundi itu, hak anak dikorbankan.

Keunggulan lain Sikka terletak pada prosedur pengaktaan. Dibikin sederhana. Pelayanannya satu atap. Kerjanya terpadu. Libatkan diskes, rumah sakit, puskesmas, dan berbagai mitra. Dengan demikian, pelayanan cepat, mudah, dan gratis dinikmati semua anak, dari kota sampai desa.

Pantas, Sikka dapat kehormatan internasional. Pantas, bupatinya didaulat jadi salah satu narasumber forum dunia. Sebuah kehormatan bagi yang berhak. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 27 Oktober 2009

Tidak ada komentar: