20 Oktober 2009

Mabar dan Manajemen Siput

Kasus Rawan Pangan di Tiga Desa

Oleh Frans Anggal

Sejumlah anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar) mendesak pemkab segera menurunkan bantuan pangan darurat bagi warga kelaparan di Desa Macang Tanggar, Golo Pongkor, dan Ngorang, Kecamatan Komodo. Tanaman pangan warga tahun ini gagal panen akibat banjir dan hama tikus.

“Pemkab Mabar semestinya segera mengambil sikap,” kata Bernadus Barat Daya. “Pemerintah tidak boleh abaikan mereka,” sahut Blasius Jeramun. Begitu warta Flores Pos Senin 19 Oktober 2009.

Kasus ini sudah diberitakan sejak pengujung September. Pihak desa pun sudah memberikan laporan. Hasilnya? Tiga pekan lewat sia-sia. Tak ada tindakan apa-apa . Hambatannya? Pekan lalu: bukan karena tidak ada beras, kata Asisten II Setda Gasa Maximus. Beras ada, tapi mesti tunggu surat perintah bupati. Pekan ini: pemkab masih memprosesnya, kata Wabub Agus Ch Dula.

Kapan ‘masih’ itu akan jadi ‘sudah’, tidak jelas. Bisa pekan depan, bulan depan, tahun depan. Di sisi lain, ketidakjelasan ini memperjelas satu hal. Mabar sedang dinakhodai oleh pemimpin yang tidak responsif. Tidak cepat dan tidak tepat menanggapi dan melayani kebutuhan rakyat. Kalau sudah begini, untuk apa Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat ada?

Mengisi perut sendiri memang merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri. Inilah yang dinamakan ‘prinsip subsidiaritas’ (subsidiarity principle) dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Namun, ketika masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi persoalannya, negara wajib turun tangan.

Sebelum krisis pangan terjadi, warga tiga desa di Mabar itu mengatur pangannya sendiri. Lahan digarap sendiri. Benih, pupuk, obat-obatan dibeli sendiri. Pasca-panen diproses sendiri. Pemasaran ditangani sendiri. Segala persoalan diatasi sendiri. Semuanya sendiri. Dan mereka bisa. Maka, mereka tidak mengemis pangan kepada pemerintah.

Dalam keadaan warga seperti itu, pemerintah memang tidak perlu campur tangan. Sayang, keadaan warga kini berubah. Panen mereka gagal akibat bencana banjir dan serangan hama tikus. Musim panen berikut belum kunjung tiba. Kalaupun tiba nanti, tak ada jaminan hasilnya memadai. Dalam keadaan seperti ini, stok makanan mereka menipis. Ancaman kelaparan sudah di depan mata. Mereka tidak bisa lagi mengatasi persoalannya sendiri.

Kalau sudah begitu ceritanya, pemerintah tidak bisa tidak campur tangan. Bantuan harus diberikan. Apalagi, warga yang dulunya mandiri itu kini memohon-mohon agar segera dibantu. Kasarnya, mereka tidak malu lagi untuk mengemis. Ini pertanda kondisi mereka sudah gawat. Menunda memberikan bantuan sama dengan meningkatkan ancaman. Dan yang sedang terancam di sana adalah kehidupan. Hak atas hidup justru hak asasi pertama.

Kondisi warga tiga desa ini tidak hanya mengharuskan pemerintah turun tangan, tapi juga mendesakkan kebergegasan. Tanggap darurat yang cepat dan tepat. Ini yang, sayangnya, tidak dimiliki pemimpin Mabar saat ini. Ke atas, cepatnya luar biasa, jam terbang tinggi, lintas negara pula. Ke bawah, untuk urusan perut rakyat lapar, lambannya minta ampun. Sudah tiga pekan, bantuan belum turun-turun.

Ini manajemen model apa? Manajemen yang tidak responsif. Tidak cepat dan tidak tepat menanggapi dan melayani kebutuhan rakyat. Manajemen siput.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 20 Oktober 2009

Tidak ada komentar: