Catatan Jelang Pilkada Manggarai 2010
Oleh Frans Anggal
Banyaknya orang masuk penjara bukan indikator utama berhasilnya penegakan hukum. Begitu kata Aloysius Sukardan. Dia dekan fakultas hukum Undana Kupang yang ingin jadi bupati Manggarai 2010-2015. “Bagi saya, keberhasilan penegakan hukum itu, bagaimana mencegah staf agar tidak masuk penjara. Bukan pada banyaknya pejabat yang masuk bui,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Kamis 8 Oktober 2009.
Benarkah itu? Sekilas, tampak benar. Padahal, belum tentu. Mari kita mengkajinya sebagai sebuah teks dalam tiga otonominya. Yaitu: maksud si pembuat pernyataan, sikon sosial lahirnya pernyataan, dan untuk siapakah pernyataan itu.
Pertama, apa yang dimaksudkan Sukardan dengan ‘penegakan hukum’? Frasa ini padanan dari law enforcement dalam bahasa Inggris. Kata to enforce sama dengan ‘memaksa’. Lucunya, dalam wacana hukum Indonesia, to enforce diterjemahkan menjadi ‘menegakkan’. Maka, law enforcement pun dipadankatakan menjadi ‘penegakan hukum’. Ini bisa menyesatkan.
Alo Sukardan tampaknya ikut tersesat. Ia mangatakan, keberhasilan ‘penegakan hukum’ terletak pada tindakan ‘mencegah’. Ia mengacaukan ‘penegakan hukum’ dengan ‘penyadaran hukum’, ‘penaatan hukum’, ‘pendidikan hukum’, dll yang hakikatnya preventif. Padahal, ‘penegakan hukum’ justru sebaliknya: represif, sebagaimana ditunjukkan kata to enforce, ‘memaksa’.
Oleh hakikat represifnya, ‘penegakan hukum’ mencakup tindakan menangkap, menyidik, mendakwa, memvonis, memenjarakan. Dengan demikian, pernyataan Sukardan mesti diralat. Banyaknya orang masuk penjara merupakan salah satu indikator penting berhasilnya penegakan hukum. Keberhasilan penegakan hukum dapat diukur dari berapa banyak pejabat yang masuk bui.
Kedua, sikon sosial lahirnya pernyataan Sukardan adalah pertarungan para kandidat jelang pilkada Manggarai 2010-2015. Bupati-wabup sekarang Rotok-Deno ingin maju untuk periode kedua. Pada masa kepemimpinan mereklah banyak pejabat korupsi masuk penjara. Rakyat bisa salah menilai bahwa ini keberhasilan Rotok-Deno. Padahalnya, bukan. Ini keberhasilan Kejari Ruteng di bawah pimpinan Kajari Timbul Tamba.
Nah, tampaknya, ini yang mau diluruskan oleh Sukardan ketika mengatakan, “Bagi saya, keberhasilan penegakan hukum itu, bagaimana mencegah staf agar tidak masuk penjara. Bukan pada banyaknya pejabat yang masuk bui.” Dengan ini, Rotok-Deno kena getahnya. Rotok-Deno dinilai gagal memilih pembantu yang tepat dan gagal pula mendidik mereka menjadi staf terhormat. Buktinya, banyak pejabat masuk penjara. Tampaknya, Sukardan sengaja tidak memuji Kajari agar bisa lebih tajam memojokkan Rotok-Deno.
Ketiga, dalam konteks jelang pilkada, pernyataan Sukardan ditujukan kepada konstituen. Dalam dialog sosialisasinya ke akar rumput, pertanyaan tentang banyaknya pejabat Manggarai masuk penjara selalu diangkat oleh masyarakat. Pernyataan Sukardan ini dimaksudkan untuk menjawabi pertanyaan mereka. Tujuan tersuratnya: pencerahan. Tapi, pasti adalah tujuan tersiratnya: kampanye.
Merebut hati rakyat (to win the heart of the people). Sah-sah saja dan bisa dimengerti. Sebab, dalam pilkada langsung, pilihan konstituenlah yang akan menentukan kemenangan kandidat. Pilihan mereka turut ditentukan oleh persepsi mereka tentang para kandidat. Pernyataan Sukardan justru berada dalam ranah membentuk persepsi itu.
Sayang, ia kurang cermat dan kurang fair. Semestinya ia bilang saja: banyaknya pejabat masuk bui itu bukti keberhasilan penegakan hukum, bukti banyaknya pejabat bobrok, bukti rekrutmen asal tunjuk, dan bukti lemahnya pengawasan kepala daerah.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 10 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar