Sejarah Perlu Diverifikasi
Oleh Frans Anggal
Hari ini, 30 September 2009, genap 44 tahun Gerakan 30 September (G30S). Empat dekade berlalu, G30S belum terungkap jelas tuntas. Siapa dalangnya: PKI? Soekarno? Soeharto?
Dalam buku putih Orde Baru, PKI divonis sebagai dalang. Karena itu, penamaannya selalu: G30S/PKI. Dalam buku putih, Brigjen Soeharto tergambar sebagai pahlawan terpuji. Kesadisan terhadap 7 jenderal yang mati dibunuh PKI dilukiskan mendetail. Sedangkan jumlah korban setelah 1 Oktober, saat tentara memburu para aktivis PKI, tidak disebutkan sama sekali.
Itu versi tunggal. Resmi. Perdebatan tentangnya diharamkan. Versi lain tak diperbolehkan. Karya pakar luar negeri seperti Cornell Paper garapan Ben Anderson dkk dilarang beredar. Penulisnya dicekal masuk Indonesia. Usaha Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menerbitkan buku tipis tentang masing-masing versi G30S pun diganjal Kejaksaan Agung 1995.
Selama 32 tahun, dengan versi tunggal resminya, Orde Baru memonopoli historiografi G30S. Kenapa? Di balik monopoli, ada ketakutan. Ketakutan akan kebenaran sejarah. Kebenaran bisa melemahkan legalitas dan legitimasi kekuasaan. Bahkan, bisa melenyapkannya.
Namun, dengan monopoli itu, versi tunggal resmi G30S bukanlah sejarah. Kalau sejarah, semestinya ia terbuka untuk diuji. Sejarah harus diandaikan bisa diverifikasi. Tanpa verifikasi, itu dongeng, gosip. Kalau dipaksakan dipercaya, dongeng atau gosip pun menjadi doktrin. Inilah yang dilakukan Orde Baru dengan versi tunggal resminya.
Memang, selama 32 tahun Orde Baru, versi tunggal resmi itu bertahan tidak tergoyahkan. Selalu dijaga dengan ketat. Tidak jarang dengan teror dan penjara. Kukuh bertahan, apakah juga berarti versi tunggal resmi itu seutuhnya dapat dipercayai publik? Justru tidak. Inilah ironi kekuasaan.
Dalam penulisan sejarah versinya sendiri, seringkali penguasa menganggap antara dirinya (encoder) dan publik (decoder) terjalin hubungan dan terbentuk pengetahuan yang setara. Padahal, tidak begitu. Publik selalu menerima semua pesan tadi dalam kerangka hubungan kekuasaan (power relation). Pernyataan pejabat Orde Baru, misalnya, selalu ditafsirkan oleh publik 100% terbalik. Kalau ia bilang ya berarti tidak. Kalau ia biang tidak berarti ya.
Kenapa bisa begitu? Terlalu dominatifnya penguasa dan aparatur negara. Dan, terlalu tidak berdayanya rakyat atau publik. Karena itu, terhadap yang di atas, yang di bawah selalu berpikir dalam sikap tidak percaya sama sekali. Mereka menolak, sebenarnya juga memberontak, tapi dengan dan dalam diam. Sebuah pepatah Afrika menggambarkan ini bagus sekali. Ketika baginda raja lewat dengan anggunnya, para hamba sahaya bersembah sujud, sambil kentut.
Era sembah sujud sambil kentut telah berlalu bersama jatuhnya Soeharto dan Orde Baru. Tak boleh ada lagi sembah sujud bagi versi tunggal resmi G30S. Monopoli historiografi harus berakhir. Makin banyak versinya, makin baik. Satu melengkapi dan mengoreksi yang lain. Ini verifikasi. Sejarah bukan dongeng, bukan gosip.
Tahun lalu, sebuah buku terbit. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Terjemahan dari Pretext for Mass Murder karya John Roosa, dosen sejarah Universitas British Columbia, Kanada. Salah satu yang penting dari buku ini, peyakinan bahwa perdebatan siapa dalang G30S patut diakhiri. Yang perlu dipertanyakan kini, siapa dalang pembantaian massal 1965. Siapa?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar