Soal Usualan Alih Status Pasar Wolowna
Oleh Frans Anggal
Camat Ende Timur Damianus Frayalus mengusulkan alih status Pasar Wolowona. Dasarnya: daya tampung pasar sudah tidak memadai. Tujuannya: menampung pedagang dan melayakkan tempat dagang. Kalau ini disetujui bupati, camat akan ajukan pengelolaan oleh pihak ketiga. Bagi hasil. APBD tidak dibebankan.
Usulan ini patut dikritisi. Kalau ini upaya renovasi atau revitalisasi pasar tradisional, berapa ongkosnya? Jangan-jangan, pembangunan pasar itu demikian mahalnya sehingga dampaknya tidak akan terjangkau oleh pedagang tradisional. Ketidakmampuan mereka hanya akan membuka kases masuknya pedagang besar. Begitu yang besar masuk, yang kecil tergusur.
Siapa yang akan tergusur itu? Perempuan! Sebagian besar penghuni Pasar Wolowona adalah ibu-ibu. Mereka pedagang kecil yang mengandalkan Pasar Wolowona sebagai urat nadi perekonomian keluarga. Semestinya mereka didengarkan. Apakah camat sudah lakukan itu? Kalau belum, janganlah gegabah. Kalau terlanjur, itu namanya pongah.
Di AS, yang notebene jantungnya kapitalisme dunia, birokratnya tidak pongah. Pada hampir semua negara bagian, kebijakan pemerintahnya menunjukkan keberpihakan pada pasar tradisional. Bila pemerintah hendak merenovasi pasar, seluruh unsur masyarakat, terutama pedagang, dilibatkan dalam musyawarah, terutama dalam menentukan harga.
Seandainya camat Ende Timur melakukan itu, apa kira-kira aspirasi para pedagang? Boleh jadi, yang sebenarnya mereka butuhkan bukanlah pasar yang megah, tapi pasar yang murah sekaligus nyaman.
Begitu juga dengan rencana pengelolaan oleh pihak ketiga. Skemanya BOT (build-operate-transfer): bangun, operasi, dan transfer. Perusahaan swasta membayar setiap tahun kepada pemda. Apa kira-kira aspirasi para pedagang? Apa pun skemanya, yang penting tetap terjamin murah, aman, nyaman.
Kita sengaja menyentil ini karena Indonesia bukan AS. AS punya UU Small Act yang memang dibuat untuk menjamin dan melindungi usaha rakyat. Indonesia? Kebijakan pemerintah kita belum mengakomodasi kepentingan pasar tradisional. Sebaliknya, pemerintah kita melegitimasi pertumbuhan pasar modern yang dalam banyak kasus mematikan pasar tradisional. Lihatlah Keppres No. 96/2000 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka bagi Penanaman Modal Asing. Perusahaan ritel pun boleh dimiliki asing. Ini gila. Kita lebih neolib ketimbang AS.
Itulah kebobrokan pusat. Daerah jangan ikut-ikutan. Gunakan otonomi daerah secara kreatif dan inovatif. UU Nomor 32 Tahun 2004 memungkinkan pemda memegang peranan penting dan strategis dalam dunia usaha, termasuk pasar.
Pesan kita untuk camat Ende Timur. Kalau mau usulkan sesuatu menyangkut Pasar Wolowona, jangan langsung ke bupati. Omong-omong dulu dengan ibu-ibu di pasar. Inisiatif lokal perlu disertai kearifan lokal.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar