Mandeknya Proses Hukum di Kejari Ende
Oleh Frans Anggal
Kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembelian tanah PLTU Ropa mencapai Rp4,5 miliar. Begitu hasil audit BPKP Perwakilan NTT. Jumlah ini berbeda dengan temuan Kejari Ende sebelumnya, Rp3,5 miliar. Demikian kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Kamis 24 September 2009.
Kita tidak persoalkan selisih hingga Rp1 miliar itu. Mau Rp100 miliar pun selisihnya, silakan. Toh semuanya harus bisa diuji dan dibuktikan agar bisa dipercaya. Pengujian dan pembuktian harus melalui proses hukum. Dan forumnya adalah peradilan. Justru di sini masalahnya. Berkas belum kunjung dilimpahkan. Mandek di kejaksaan.
Kenapa mandek? Dalam kasus Ropa, biang keroknya adalah pemecahan (split) berkas perkara dalam dua berkas terpisah dan penggelombangan pelimpahannya nanti ke pengadilan. Ada dua tersangka: Karel Djami dan Andreas Dua, mantan bendahara dan mantan manajer PLN. “Saya punya strategi, satu-satu dulu,” kata Kajari Silalahi. “Setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses.”
Menurut dia, cara seperti ini memudahkan pembuktian. Boleh jadi. Namun, bagaimana mungkin pembuktian dipermudah kalau prosesnya sendiri mandek? Sekarang saja mandek. Karel Djami sakit. Ia sedang dirawat di rumah. Mandek, karena Karel Djami dijadikan lokomotif proses hukum. Begitu lokomotif macet, gerbong di belakangnya pun terhenti. Jelas, cara ini tidak tepat.
Kalau kajari ngotot dengan ini, patut dapat dipertanyakan: apa ada udang di balik batu? Ini praktik lazim di NTT (nusa tetap terkorup). Hasil pantauan PIAR NTT menunjukkan, split kasus yang dilakukan aparat hukum di NTT diduga cenderung melindungi pejabat/petinggi yang terindikasi melakukan tindak korupsi.
Contoh, kasus proyek pengadaan Sarkes NTT tahun 2003. Berkasnya displit. Berkas tersangka Pimpro Sarkes Benediktus Tuluk dimajukan duluan. Ia pun divonis penjara. Sedangkan berkas tersangka Gubernur NTT dikemudiankan, dilamban-lambankan prosesnya, dan akhirnya ia (di)luput(kan).
Kita berharap kasus Ropa tidak begitu. Tapi, kita khawatir juga akan seperti itu. Baik dalam kasus sarkes maupun dalam kasus Ropa, alasan split sama dan sebangun: untuk memudahkan penyidikan dan pembuktian. Pemberangkatan berkas ke pengadilan pun sama: dibikin bergelombang. Kloter pertama, spesial untuk yang kecil-kecil. Ini kloternya Benediktus Tuluk dalam kasus Sarkes atau Karel Djami dalam kasus Ropa. Lepas landasnya tepat waktu. Dipastikan, pesawat mendarat dengan ‘sukses’ di penjara. Kloter kedua, ketiga, apalagi terakhir, spesial untuk VIP. Ini kloternya gubernur, bupati, sekda, kaum berduit. Lepas landasnya boleh ditunda. Pesawatnya sudah dicarter koq. Batal berangkat pun bisa. Didenda, berapa sih?
Analogi ini menggambaran lanskap keterpercayaan publik terhadap proses hukum kasus dugaan korupsi di NTT. Cenderung tebang pilih. Kajari Silalahi menepis tudingan seperti ini. Tidak benar, katanya, ia lakukan tebang pilih dengan mendahulukan proses hukum Karel Djami dan mengemudiankan proses hukum Andreas Dua. Dia juga membantah jika dituding belum diproses hukumnya Andreas Dua karena tersangka orang berada.
Bantahan kajari bisa dipercaya, bisa tidak. Tergantung, langkah konkretnya apa. Bagaimana bisa dipercaya kalau Karel Djami tetap dijadikan lokomotif proses hukum? Bagaimana bisa dipercaya kalau “setelah (berkas) Karel Djami kita limpahkan, baru Andreas Dua diproses”?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar