Kasus Pembuatan Ijazah Palsu di Ende
Oleh Frans Anggal
Ketika mantan kasek SDN Ende V Wilhelmus Djoka ditahan Polres Ende karena tertangkap tangan melakukan pemalsuan ijazah, memori kita langsung memunculkan kasus lain yang perlakuan terhadap tersangkanya begitu istimewa.
Pada Februari 2009, Sekda Ende Iskandar Mohamad Mberu ditetapkan menjadi tersangka kasus perbuatan tidak menyenangkan terhadap anggota DPRD Heribertus Gani. Sedianya, ia langsung ditahan setelah diperiksa Senin 9 Februari. Namun, atas perintah Kapolres Bambang Sugiarto, penahanan dibatalkan. Kapolres beralasan: tersangka pejabat publik. Jika ia ditahan, pekerjaan yang ditangani bisa terbengkalai.
“Bentara” Flores Pos Rabu 11 Februari 2009 mengkritik. Alasan seseorang tidak ditahan hanya karena ia pejabat publik sungguh diskriminatif. Ini ‘tebang pilih’. Penahanan hanya untuk orang kebanyakan. Pejabat, tidak. Ini mencederai rasa keadilan. Asas ‘persamaan di depan hukum’ dikangkangi.
Lihat itu. Wilhelmus Djoka, ditahan. Kenapa? Dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Dia ‘cuma’ pensiunan PNS, mantan guru, mantan kasek. Seandainya pejabat publik, ia tidak ditahan. Sebab, mengutip kapolres tadi: jika ia ditahan, pekerjaannya bisa terbengkalai.
Kenapa alasan itu hanya berlaku bagi seorang sekda dan tidak bagi seorang pensiunan guru? Wilhelmus Djoka itu suami, ayah, kakek. Ia juga tokoh umat, tokoh masyarakat. Ia punya berbagai peran, fungsi, dan tugas, yang tentu terbengkalai kalau dia ditahan. Lalu, kenapa ia ditahan? Karena dia bukan sekda. Bukan pejabat publik. Ini diskriminasi!
Selain diskriminasi, ini overkriminalisasi. Secara objektif, menurut KUHAP, penahanan itu memang memenuhi syarat karena ancaman hukumannya di atas 5 tahun. Namun secara subjektif, terlalu mengada-ada. Apa mungkin lansia 70-an tahun ini melarikan diri? Apa mungkin ia menghilangkan barang bukti sementara barang bukti ijazah sudah disita? Apa mungkin seorang tokoh yang tertimpa aib hingga terguncang secara psikologis masih nekat mengulangi tindak pidana? Tidak mungkin!
Polres Ende telah gegabah menahan seseorang yang tidak perlu ditahan. Ini overkriminalisasi. Seburuk apa pun suatu kejahatan, janganlah tindakan penegak hukum justru lebih buruk daripada kejahatan itu sendiri. Penahanan ini harus ditangguhkan. Salut jika polres sudah melakukannya. Selanjutnya, perlu proses hukum yang jujur, bersih, bebas dari ancaman dan pemerasan.
Selama 1997-2009, Wilhelmus Djoka ‘hanya’ membuat tiga ijazah palsu. Ini menunjukkan, ia buat karena diminta. Ia hanya mau membantu. Bukan mau cari untung, seperti kata kapolres. Kalau cari untung, kenapa cuma 3 ijazah dalam 12 tahun? Kalau cari untung, kenapa ia hanya gunakan blanko asli yang terbatas dan bukan mencetak blanko palsu ribuan lembar? Yang cari untung justru perantara, seorang yang sama, yang terakhir datang dengan cara menjebak sehingga pelaku tertangkap tangan.
Dalam konteks lebih luas, Wilhelmus Djoka adalah korban. Kebaikan hatinya dimanfaatkan orang lain. Demi membantu orang lain, ia melanggar hukum. Dalam perbuatannya itu, tak ada pihak yang ia rugikan. Sebaliknya, ada yang diuntungkan: si perantara dan pemilik ijazah. Pantaskah hukuman penjara bagi orang seperti ini? Sementara, di luar sana, banyak pejabat yang hidup dalam kepalsuan demi keuntungan diri berlipat-lipat: membuat kuitansi palsu, SPPD palsu, laporan pertanggungjawaban palsu. Kapan mereka dipenjara?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar