12 September 2009

Wajah Ende dan Lapak Ikan

Ketika Pembiaran Melahirkan Masalah

Oleh Frans Anggal

Para pemilik lapak ikan di ruas jalan Imam Bonjol depan Terminal Ndao Ende mendatangi DPRD, Kamis 10 September 2009. Mereka menolak rencana pemerintah membongkar lapak. Kata mereka, lapak tidak mengganggu lalu lintas karena di luar badan jalan. Lapak hanya difungsikan sesekali, untuk menjual ikan yang tersisa dari pasar. Hari itu juga DPRD meninjau lokasi, selanjutnya menemui lurah dan camat.

Jalan Imam Bonjol adalah jalan negara. Di ruas jalan inilah Terminal Ndao, gerbang baratnya Kota Ende. Seperti apa wajah gerbang ini nanti kalau lapak-lapak ikan diizinkan? Sekadar gambaran, tengoklah wajah timur Kota Ende di Pasar Wolowona.

Pasar Wolowona teletak di tepi ruas jalan negara juga. Ini pasar tradisional, sentra penggerak kehidupan masyarakat yang mayoritasnya mengandalkan usaha kecil-menengah. Perannya tidak diragukan. Tidak demikian dengan lokasinya. Ini yang perlu dibicarakan kembali. Los pasar bertingkat? Dikelola pihak ketiga? Buka ruas jalan alternatif?

Sambil menunggu kebijakan pemkab, aktivitas Pasar Wolowona masih seperti dulu. Pada hari pasar Kamis petang hingga Jumat siang, suasananya sungguh ‘mencekam’. Padat, semrawut, kotor, bau. Penjual dan jualannya meluber hingga ke bahu jalan. Termasuk lapak-lapak ikan. Lalulintas macet. Di tempat ini, segala harapan dan kenangan akan cantiknya Kota Ende lenyap seketika.

Biang keroknya? Liputan Flores Pos 2006 menemukan kenyataan ini. Rendahnya kesadaran pedagang bukan sumber utama kotor dan semrawutnya pasar. Sumber utamanya: penegakan aturan yang lemah, mentalitas petugas yang gampang disogok, dan kurangnya pengawasan instansi terkait.

Oleh faktor yang sama, ruas jalan Imam Bonjol di gerbang barat Kota Ende, yang diapiti lapak-lapak ikan, berpeluang besar menjadi seperti ini. Awalnya cuma satu dua lapak. Karena lalai ditertibkan, jumlah lapak bertambah. Makin banyak, makin merusak, tidak hanya tata ruang, tapi juga kebersihan, keindahan, keamanan, dan kenyamanan.

Menurut para pemilik lapak, kehadiran lapak tidak mengganggu lalu lintas karena letaknya di luar badan jalan. Fungsinya hanya sesekali, untuk menjual ikan yang tidak laku di pasar. Apa yang mereka katakan itu benar. Namun hanya benar dalam keadaan seperti sekarang. Kalau atas pertimbangan itu lantas lapak yang ada dibiarkan maka akan muncul lapak-lapak baru. Kondisi Pasar Wolowona sekarang ini justru lahir dari proses seperti ini. Tahapannya perlahan dan, karena lemahnya pengawasan serta penertiban, akhirnya tercipta kondisi yang kemudian sulit diubah tanpa adanya resistensi atau penolakan yang kuat.

Kedatangan para pemilik lapak ke DPRD merupakan bukti adanya resistensi itu. Resistensi lahir dari kepentingan yang terganggu. Mereka sudah lama merasa diuntungkan oleh lemahnya penegakan aturan dan rendahnya pengawasan. Ketika penegakan aturan terkesan begitu tiba-tiba dan terburu-buru, jumlah mereka sudah banyak. Resistensi mereka pun menguat.

Dalam keadaan seperti ini, cara-cara represif tak boleh menjadi pilihan pertama dan utama. Tempatkan represi pada posisi terakhir. Kalaupun terpaksa dilakukan, haruslah ekstra hati-hati agar represi tidak menjadi anarki. Dahulukan dan utamakan persuasi. Karena itu, langkah DPRD menemui camat dan lurah sangatlah tepat. DPRD harus menjadi mediator dan fasilitator efektif bagi lahirnya solusi bermartabat (win-win solution).

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 September 2009

Tidak ada komentar: