Pengembalian Kendaraan Dinas 2004-2009
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 30 sepeda motor dan 1 mobil belum dikembalikan oleh mantan DPRD Manggarai 2004-2009. Yang sudah dikembalikan baru 7 sepeda motor dan 2 mobil. Ke-30 sepeda motor masih di tangan mantan anggota dewan. Sedangkan 1 mobil Nissan Tarano masih di tangan mantan ketua dewan John Ongge.
“Surat sudah kita keluarkan. Intinya kita minta mereka mengembalikan kendaraan yang menjadi milik pemerintah itu. Namun, reaksinya belum seperti diharapkan.” Begitu kata Sekwan Primus Parman seperti diwartakan Flores Pos Selasa 15 September 2009.
Memalukan! Mungkin ada yang bereaksi begitu. Tapi, siapa yang malu? Para mantan anggota dewan? Belum tentu mereka malu. Bisa saja mereka merasa diri benar. Merasa begitu, boleh jadi karena mereka telah lama tersesat, termasuk dalam menghadapi dan memperlakukan apa yang dinamakan kendaraan dinas. Hak pakai disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Kalau cuma tersesat karena tidak tahu, gampanglah, tinggal diberi tahu. Yang jadi soal, kalau mereka tahu itu salah, tapi tanam kaki dan tidak mau tahu. Itu berarti saraf malunya sudah putus. Mereka maju tak gentar memasang muka badak. Prinsipnya sederhana: hanya orang bodoh yang meminjamkan barang, dan hanya orang gila yang mengembalikan barang pinjaman.
Kasus seperti ini mengukuhkan “teori bandit” ala Indonesia. Politik masih dianggap sebagai lahan cari hidup. Caleg sama dengan pencaker---semestinya tiap caleg memiliki kartu kuning depanaker saat melamar ke parpol. Karena distorsinya begitu, tak mengherankan, saat mereka menjadi legislatif, kepentingan pribadi jauh lebih menonjol ketimbang kepentingan publik. Demi kepentingan pribadi, hak pakai atas aset negara disamakan dengan hak milik. Barang pinjaman disamakan dengan barang temuan.
Modus seperti ini cukup kentara pada kasus kendaraan dinas DPRD Manggarai 2004-2009. Pakai minta dulu baru mereka kembalikan. Itu pun baru 7 dari 37 sepeda motor dan 2 dari 3 mobil. Di mana 30 sepeda motor lainnya? Masih di tangan anggota. Di mana 1 mobil lainnya? Masih di tangan ketua. Anggota dan ketua sama saja. Ketua adalah primus inter pares, yang pertama di antara yang lain. Dalam hal yang positif, tentunya. Yang terjadi di Manggarai, sebaliknya. Primus inter pares dalam hal yang negatif.
Patut untuk dicatat, kasus ini terjadi justru di pengujung masa pengabdian mereka sebagai dewan. Pepatah Jerman bilang: akhir baik, semuanya baik. Sebaliknya tentu saja. Akhir yang buruk, semuanya jadi buruk. Ini vonis yang tidak adil, memang. Namun, jangan lupa, para mantan anggota dewan itu sedang berhadapan dengan publik. Dan publik memiliki memori terbatas untuk mengingat semua hal yang telah berlalu. Yang paling mudah mereka ingat adalah cerapan paling akhir. Gong pamungkas. Sayang, dalam kasus di Manggarai, gong pamungkasnya jutsru hal buruk. Maka: akhir buruk, semuanya buruk.
Akhir yang buruk ini akan semakin memburuk kalau pengembalian kendaraan dinas bertele-tele. Belum lagi kalau ternyata sudah dijual. Atau sengaja dibikin rusak agar masuk kategori ‘layak diputihkan’. Kita tunggu saja bagaimana bunyi knalpotnya nanti (menurut telinga Manggarai). Sebelum diputihkan: “celooong” (pinjaman). Setelah diputihkan: “deruuum” (milik).
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar