25 September 2009

Ketika Bupati Don Marah

Kasus Meludahi Wajah Wartawan

Oleh Frans Anggal

Bupati Ende Don Bosco M Wangge dilaporkan ke polisi oleh wartawan Mingguan Global dan Mingguan NTT Pos, Stef Bata, karena meludahi muka korban. Tindakannya dipicu pemberitaan sang wartawan yang dinilainya tidak berimbang, tanpa kroscek, tanpa hak jawab.

Bupati sudah mengakui tindakannya salah. Ia menyesal. Ia minta maaf kepada korps wartawan. Ia pun mau minta maaf kepada korban. “Kalau pintu maaf dibuka, saya masuk. Kalau pintu maaf ditutup, prosedur (hukum) kita lalui,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Jumat 25 September 2009.

Tindakan Bupati Don merupakan ungkapan emosi marah. “Seperti bentuk emosi lainnya, marah diikuti perubahan psikologis dan biologis. Ketika Anda marah, denyut nadi dan tekanan darah meningkat, begitu juga dengan level hormon, adrenalin, dan noradrenalin,” kata Charles Spielberger, ahli psikologi yang mengambil spesialisasi studi tentang marah.

Sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi, marah itu manusiawi, normal dan sehat. Namun, ketika tidak terkendali dan cenderung destruktif, marah akan menjadi masalah. Inilah yang terjadi pada diri Bupati Don: “Kejadian tadi itu (karena saya) hilang keseimbangan. Saya tidak bisa kendalikan emosi.”

Hilang keseimbangan, tidak bisa kendalikan emosi, bisa terjadi pada siapa saja. Tidak terkecuali pada diri seorang pemimpin. Namun, salah satu ukuran kebesaran seorang pemimpin justru terletak pada titik ini juga. Yakni, mampu menyeimbangkan diri dan mengendalikan emosi.

Siapa tidak mengakui kebesaran George Washington, presiden pertama Amerika Serikat? Ia tidak pintar-pintar amat. Dia dianggap lebih sebagai seorang ‘pekerja’ ketimbang seorang ‘pemikir’. Kalau begitu, apa yang membuat figur bersahaja ini jadi besar?

Sejarahwan Amerika Page Smith menjawabnya dengan sebuah paradoks. Kebesaran George Washington terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya. Dengan kata lain, pengekangan diri Washington-lah, dan bukan tindakannya, yang menentukan kebesarannya.

Psikologi kekuasaan sama di mana-mana. Power tends to corrupt, kata Lord Acton. Kekuasaan cenderung merusak. Kekuasaan cenderung memperbesar diri dan membenarkan diri. Bahkan, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar diri jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Demikian pula, kecenderungannya membenarkan diri berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengkritik dan mengawasi diri.

Di hadapan kecenderungan kekuasaan seperti inilah letak kebesaran George Washington. Ia mampu mengekang diri hingga tidak takluk dan tidak hanyut pada kecenderungan itu. Letak kebesarannya bukan pada apa yang dilakukannya, tapi pada apa yang tidak dilakukannya.

Bupati Don Wangge bukan George Washington. Namun keutamaan seorang Washington patut diteladani. Dalam kasus yang barusan itu, Bupati Don memang gagal mengekang diri. Namun bersamaan dengan itu, ia menunjukkan diri sebagai pemimpin demokratis.

Pemimpin demokratis bukanlah pemimpin tanpa cela. Pemimpin demokratis harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai keberanian moral mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi.

Dalam istilah lain, pemimpin demokratis adalah pemimpin yang rendah hati (humble). Kualifikasi ini ada pada diri Bupati Don ketika ia mengakui kesalahannya, menyesal, meminta maaf, menginginkan rekonsiliasi, seraya bertekad: “Mudah-mudahan ini pertama dan terakhir kali.”

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 September 2009

Tidak ada komentar: