Kasus Tertangkap Tangan di Ende
Oleh Frans Anggal
Mantan kasek SDN Ende V, Wilhelmus Djoka, tertangkap tangan saat sedang membuat ijazah palsu di kediamannya, Sabtu 12 September 2009. Sejak 1997, ini kali ketiga pria 70-an tahun ini melakukan perbuatan yang sama. Dua kali untuk ijazah SD, satu kali ijazah SMP. Blanko ijazah ia peroleh dari seorang kasek di Nangapanda, sudah meninggal.
Pelaku sudah ditahan. Lembar ijazah sudah disita sebagai barang bukti. Juga stempel. Ia dikenai pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pemalsuan surat, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun. Motif tindakannya? “... hanya untuk mencari keuntungan,” kata Kapolres Bambang Sugiarto seperti diwartakan Flores Pos Rabu 16 September.
Sejauh direkam Flores Pos, ini kasus kedua di Ende sejak 2004 ketika seorang caleg kandas maju gara-gara ijazah palsu. Ia pemilik ijazah palsu. Sedangkan yang ini pembuat ijazah palsu. Baik pada kasus pertama maupun pada kasus kedua, pembuat ijazah palsu adalah kasek atau mantan kasek. Kasek, karena kewenangannya, dan mantan kasek, karena pengalamannya, mudah bikin itu.
Dibikin, karena dibutuhkan. Kalau berupa transaksi maka ada prestasi (jasa) dan kontra-prestasi (balas jasa). Kalau berupa perbuatan berangkai, berproses, dan berdurasi maka umumnya pelaku tidak tunggal. Ada penyertaan dalam tindak pidana. Dengan demikian, yang dipidana mencakup yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang meminta melakukan, dan yang turut serta melakukan.
Belum cukup. Masih ada pembantu kejahatan. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Juga, mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Kalau locus delicti-nya rumah kediaman, yang turut serta mungkin anggota keluarga, tetangga, teman, dll. Kalau semuanya dijebloskan, penjara bisa sesak.
Sisi penyertaan dalam tindak pidana ini kita angkat bukan untuk menyeret semakin banyak orang dalam proses hukum. Yang hendak ditunjukkan adalah sisi lain dari hukum. Katakan saja, sisi sosiologis yang membuka peluang bagi terjadinya tindak pidana. Kata kunci dalam kasus kita ini adalah “ijazah”.
Ijazah dipandang dan diperlakukan begitu pentingnya. Republik ini adalah republik ijazah. Yang penting ijazah. Mutunya seakan tidak penting. Proses mendapatkannya seakan tidak penting juga. Maka, jangan kaget, dengan mutu seperti apa dan prosesnya bagaimana, tiba-tiba saja si A berijazah dan bergelar M.Si. Dan gelar akademik itu, yang menunjukkan ijazah itu, wajib dipasang di depan atau belakang nama. Makin panjang, semakin hebat.
Jadi caleg, harus ada ijazah. Bila tidak, kandaslah dia. Supaya tidak kandas, adakan ijazah. Jika asli tidak bisa, pakai yang palsu. Maka, kasek atau mantan kasek didatangi, ditawari, dirayu, didesak, mungkin juga dipaksa, diteror, dst. Karena itu, patut dipertanyakan kalau motif kasek atau mantan kasek hanya untuk mencari untung. Boleh jadi motifnya tidak tunggal. Bisa banyak, berjalin berkelindan, sehingga sulit disatubahasakan.
Dalam kasus mantan kasek SDN Ende V, kata Kapolres Bambang Sugiarto, motifnya hanya mencari keuntungan. Dengan telaah di atas, kita tidak yakin. Dia untung, ya, sebagai kontra-prestasi. Tapi dia lakukan itu karena dibutuhkan. Jadi, ia membantu, meski dengan cara tidak terpuji.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar