10 September 2009

Rotok-Deno dan Raskin Itu

Kenapa Tidak Berani Tolak Raskin?

Oleh Frans Anggal

Seandaianya Bupati Manggarai Chris Rotok tahu asal-usul daging kerbau itu, mungkin dia tidak makan. Begitu juga anggota muspida. Mereka dijamu di Desa Pongkor, Kecamatan Satar Mese, pada syukuran proyek Wae Cecu. Daging kerbau yang dihidangkan adalah hasil penyimpangan beras raskin oleh kepala desa dan kepala dusun.

Kasusnya sedang ditangani polisi. Raskin yang simpangkan 15 ton, jatah 2008. Pengusaha kasih modal ke kades agar beras segera keluar dari Dolog Ruteng. Setelah diambil dari dolog, beras dibeli si pengusaha. Uangnya dibagikan kepada para ketua RT, Rp200 ribu per orang. Juga untuk kegiatan olahraga di kecamatan. Dan, untuk yang itu tadi: perjamuan syukuran proyek Wae Cecu.

Langkah kades, kadus, dan si pengusaha jelas menyalahi aturan. Tidak perlu diuraikan. Yang perlu, mempertanyakan satu ini: mengapa kades-kadus-pengusaha senekat itu? Kita patut dapat menduga, ini ada kaitannya dengan syukuran proyek.

Masyarakat kita suka dan ramah menerima tamu. Hospitalitasnya tidak perlu diragukan. Di kampung-kampung, di Manggarai misalnya, tamu yang lewat selalu disapa ramah, ditanyai, diajak masuk rumah. Kalau dijamu, menunya ‘istimewa’. Tamu biasa-biasa saja pakai ayam, masa untuk bupati dan rombongan pakai ayam juga? Paling rendah, babi. Lebih tinggi, sapi. Paling bergengsi, kerbau.

Boleh jadi, faktor hospitalitas ini turut mempengaruhi, untuk tidak mengatakan menentukan langkah si kades dan kadus. Sebagai tuan rumah syukuran proyek yang dihadiri bupati dan rombongan, mereka terbebani ‘keharusan’ akan hospitalitas itu. Dibilang apa nanti kalau jamuannya biasa-biasa saja? Yang datang ini orang besar. Hewan korban pun harus besar. Hewan besar berarti dana besar. Kumpulkan dana besar butuhkan waktu lama. Yang bisa bikin cepat hanya yang ada di Dolog Ruteng itu: beras raskin. Maka bersekongkollah mereka dengan pengusaha. Karena, hanya pengusahalah yang bisa membeli cepat dalam jumlah banyak.

Mereka tahu, ini penyimpangan. Maka harus dirahasiakan. Supaya kerahasiaan terjamin, yang berpotensi membongkar rahasia harus dirangkul. Mereka adalah para ketua RT. Mereka dikasih jatah. Aman, untuk sementara. Sekurang-kurangnya sampai dengan terselenggaranya syukuran proyek Wae Cecu. Selanjutnya? Syukuran berakhir, kerahasiaan juga berakhir. Babak baru pun dimulai: proses hukum.

Penyimpangan beras raskin dengan modus seperti ini boleh jadi tidak hanya terjadi di Desa Pongkor. Di Desa Pongkor, penyimpangannya terkait dengan skandal daging kerbau. Di desa lain mungkin terkait dengan skandal daging sapi, skandal daging babi, dll. Karena itu, ini patut menjadi perhatian Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamelus Deno.

Rotok-Deno ingin maju sepaket lagi untuk pilkada 2010. Sekarang mereka rajin turun ke desa-desa. Agenda resminya, kunjungan dinas. Agenda tersembunyinya kita tahulah. Ini keuntungan bagi paket incumbent, tapi bisa menjadi petaka bagi kades dan kadus. Skandal daging kerbau di Desa Pongkor itu satu contoh.

Yang juga patut menjadi perhatian, raskin itu sendiri. Raskin terbukti membawa lebih banyak kutukan ketimbang berkat. Selain rawan penyimpangan, raskin melanggengkan mindset dan pola konsumsi sesat, bahwa makanan itu hanya beras. Keanekaragaman pangan lokal semakin tergusur. Kedaulatan pangan cuma jadi mimpi. Kenapa tidak berani ditolak?

“Bentara” FLORES POS, Kami 10 September 2009

Tidak ada komentar: