Warga Keracunan Umbi Hutan
Oleh Frans Anggal
Di Kampung Wololora, Kabupaten Sikka, satu keluarga keracunan umbi hutan alias ondo. Mereka muntah-muntah hingga lemas akibat dehidrasi. Rabu 16 September 2009, mereka dilarikan ke RS St Elisabet Lela. Kondisinya mulai membaik.
Yang keracunan ini kakek, nenek, anak perempuan, dan tiga cucu. Suami si anak perempuan atau ayah ketiga cucu sedang mencari nafkah di Malaysia. Ondo mereka temukan saat buka kebun baru. Mengapa nekat mereka makan? Flores Pos Jumat 18 September menjelaskan, mereka terancam rawan pangan.
Dalam keanekaragaman pangan tradisional, ondo tidak masuk daftar. Ondo bukan pangan. Untuk babi hutan, mungkin. Kalau sampai dimakan manusia, pasti karena terpaksa. Tak ada rotan, akar pun jadi. Demi tetap hidup, apa pun dimakan, termasuk yang tidak layak untuk hewan. Kelaparan telah memurukkan manusia ke taraf sub-human.
Susan George (1976) melukiskannya dengan perbandingan yang tajam. Hewan di kelompok negara maju habiskan seperempat gandum dunia atau sama dengan konsumsi penduduk Cina dan India yang seluruhnya 1 miliar 300 juta jiwa. Di AS, 1967, produksi makanan anjing hampir sama dengan pendapatan rata-rata pria di India. Di Prancis, konsumsi kalori 8 juta anjing dan 7 juta kucing sama dengan konsumsi kalori seluruh penduduk Portugal. Jumlah sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah oleh bangsa Amerika tiap tahun cukup untuk memberi makan penduduk semua negara di Benua Afrika selama satu bulan.
Mohammed Bedjaoui (1979) menyimpulkan, pada zaman modern ini harkat hewan seolah-olah lebih tinggi. Hewan mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Untuk hewan disediakan pemangkas rambut, penjahit, dan restoran khusus. Ini ketidakadilan yang terhadap martabat manusia. Sekaligus skandal, skandal terbesar abad ini.
Skandal yang sama, dalam skala berbeda, terjadi juga di Indonesia, NTT, Flores, Sikka. Yang dikonsumsi anjing pejabat dan orang kaya di Maumere pasti lebih bergizi dan lebih banyak ketimbang yang masuk perut petani miskin di Kampung Wololora. Yang dimakan anjing saja sudah begitu, apalagi yang dimakan pemiliknya. Perbandingannya semakin langit dan bumi saja kalau kita simak berapa yang dihabiskan pejabat.
Forum Masyarakat Sikka Menggugat melaporkan, untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah selama 2008 dan 2009, Bupati Sikka Sosimus Mitang dan Wabup Wera Damianus menghabiskan Rp1,4 miliar. Sekali jalan mereka habiskan rata-rata Rp153 juta. Ini artinya apa?
Jawabannya dapat kita temukan dalam Populorum Progressio, ensiklik mengenai Kemajuan Bangsa-Bangsa, yang disampaikan Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967.
“Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditoleransi. Kiranya mereka yang berkuasa mendengarkan kata-kata kami sebelum terlambat” (Nomor 53).
Skandal. Skandal yang tidak dapat ditoleransi. Itulah yang terjadi di Sikka. Mudah-mudahan bupati dan wabup mendengarkannya, sebelum semuanya terlambat.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar