Kerugian Negara Tidak Dapat Dihitung
Oleh Frans Anggal
Kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende berjalan di tempat. Begitu berita utama Flores Pos Sabtu 19 September 2009. Sudah lima kali BAP bolak-balik polisi-jaksa.
Kata Kajari Marihot Silalahi, kasus ini berat untuk dilanjutkan. Sebab, berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.
Argumentasi ini perlu diuji. Kata kajari, kasus ini berat untuk dilanjutkan karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Ini alasan ‘usang’, digunakan sepanjang 6 tahun usia kasus ini. Di sisi lain, berulang kali disebutkan: dugaan kerugian negara Rp279 juta. Kenapa dan dari mana angka ini muncul kalau kerugian negara tidak datang dihitung?
Pada pengembalian kali keempat BAP ke polisi Juni 2009, kajari bilang: dari yang diminta, baru unsur kerugian negara yang dipenuhi. Itu berarti, tentang kerugian negara, bukti awal sudah cukup. Sudah beres. Sudah tidak ada soal. Sekarang, yang sudah tidak ada soal itu kembali dipersoalkan, bukan oleh siapa-siapa tapi oleh kajari sendiri. Kata lagu dangdut: kau yang memulai, kau yang mengakhiri.
Tidak hanya aneh, ini gawat. Kerugian negara yang tidak dapat dihitung dijadikan dasar untuk menyatakan kasus ini berat untuk dilanjutkan. Apakah ini gelagat mau menghentikan penyidikan alias SP3? Kalau maksudnya begitu, kita tolak. Alasan: tidak dapat dihitungnya kerugian negara bukan berarti tidak adanya kerugian negara.
Analoginya begini. Membakar rambut kepala. Si korban jelas dirugikan. Apakah kerugiannya bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah helai rambut yang terbakar itu tidak dapat dihitung? Membakar hutan: apakah kerugian negara bisa dinyatakan tidak ada hanya karena jumlah pohon, semak, rumput, ular, tikus, belalang, dan semut yang ikut terbakar tidak bisa dihitung?
Kembali ke kasus PDAM Ende. Jumlah kerugian negara sebagai hasil penghitungan, yang dalam hal ini merupakan keterangan ahli (BPKP), bukanlah satu-satunya alat bukti yang sah. Selain keterangan ahli, masih ada keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Maka, janganlah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Janganlah: karena kerugian negara tidak dapat dihitung, proses hukum di-SP3-kan.
SP3, meski “bisa” dilakukan jaksa dan polisi karena kewenangannya, tidaklah “harus”. Dalam kasus PDAM Ende malah “jangan”. Selain alasannya tidak kuat, SP3 akan menjadi preseden buruk pemberantasan korupsi. SP3 juga akan menguatkan dugaan publik bahwa kasus ini dipingpong 6 tahun karena dijadikan ATM oleh polisi dan jaksa.
Selain itu, kejaksaan dan kepolisian bukanlah institusi terakhir. Masih ada pengadilan. Hakimlah yang nanti menilai. Dan penilaian hakim tidak hanya didasari bukti yang sah (objektif), tapi juga suara hati atau keyakinannya (subjektif). Hanya hakim yang boleh begitu. Polisi dan jaksa tidak. Lucunya, Kajari Silalahi seperti hakim saja ketika seolah-olah yakin bahwa terdakwa akan bebas hanya karena kerugian negara tidak dapat dihitung. Lalu atas keyakinan itu, kasus ini mau di-SP3-kan? Kita tolak!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar