04 September 2009

DPRD Ende, Awal yang Buruk

Ke Jakarta Mencoreng Wajah Sendiri

Oleh Frans Anggal

Setelah dilantik, apa hal pertama yang dilakukan DPRD? Tiap kabupaten punya cerita. Kita angkat dari tiga kabupaten bertetangga. Sikka, Ende, Ngada.

Di Sikka, kegiatan perdananya bersidang. DPRD bahas rancangan tatib sambil tunggu pedoman tatib baru dari pusat. Sambil menunggu, mereka bersidang. Hasilnya nanti tinggal disesuaikan dengan tatib baru. Mereka yakin , meski ada perubahan, tatib baru tetap mengandung banyak konten lama. Dengan begitu, penyesuaian nanti hanya menyangkut konten baru. “Ini sekaligus momen pembelajaran bagi teman-teman anggota baru,” kata Ketua Sementara Rafael Raga.

Di Ngada, kegiatannya juga sama. Bersidang. Tidak tanggung-tanggung, DPRD bahas banyak agenda. Mulai dari pemahaman tentang nilai hingga surat edaran mendagri dan tatib. Sambil menunggu, mereka bersidang. Khusus tentang nilai, mereka gali pikiran satu sama lain. Ini berangkat dari ‘obsesi’ Ketua Sementara Kristoforus Loko: anggota dewan perlu memiliki pemahaman bersama.

Di Ende, ini yang lain. Mereka memang bersidang, namun hanya sekali. Hasilnya: mereka bersepakat untuk bersama-sama menjaga harkat dan martabat dewan. Sesudah itu? “... kita hanya datang, duduk, dan dengar lalu pulang. Tidak ada kegiatan apa-apa,” kata Sudrasman Nuh dari Partai Bulang Bintang. Mereka baru akan bersidang lagi sepulang orientasi dari Jakarta.

Kalau DPRD Sikka dan Ngada menunggu sambil bersidang, DPRD Ende menunggu sambil bertandang. Ketua Sementara DPRD Ende Marselinus YW Petu beralasan, orientasi ke Jakarta itu penting demi kesepahaman tentang hal yang akan mereka bahas nanti: susduk, tatib, dll. Karena itu, jangan permasalahkan dana.

Memiliki pemahaman yang sama itu penting. Tapi, apakah untuk itu, kegiatannya harus di Jakarta? DPRD Sikka dan Ngada menyadari pentingnya pemahaman bersama. Tapi, mereka di tempat saja. Mereka memilih duduk ketimbang berjalan. Mereka memilih yang dekat ketimbang yang jauh. Mereka memilih bertemu satu sama lain ketimbang menemui pihak lain. Mereka memilih yang cepat ketimbang yang lambat. Mereka memilih yang hemat ketimbang yang boros.

Kata ‘memilih’ sengaja kita gunakan untuk menunjukkan, ke Jakarta bukanlah keniscayaan. Ini pilihan cara. Untuk membangun kesepahaman, ke Jakarta hanyalah salah satu, bukan satu-satunya cara. Masih ada bahkan banyak cara lain, seperti dilakukan DPRD Sikka dan Ngada. Sebagai salah satu, ke Jakarta pun bukan cara terbaik. Bukan yang paling efektif, paling efisien, dan paling ekonomis. Karena itulah, DPRD Sikka dan Ngada tidak memilihnya. Mengapa justru menjadi pilihan DPRD Ende?

Tidak ada alasan kuat, penting, mendesak, rasional, dan meyakinkan yang membenarkan pilihan DPRD Ende. Pilihan itu hanya mengesankan mereka ’memakai kesempatan’. Mumpung pedoman barunya belum ada. Mumpung dana jalannya ada. Maka, menunggu pedoman baru, mereka jalan(-jalan). Menunggu sambil bertandang.

DPRD Ende mencoreng wajah sendiri justru ketika rapat perdananya menyepakat menjaga harkat dan martabat dewan. Awal yang buruk. Mengecewakan. Dengan citra seperti ini, segala alasan pembenaran diri kehilangan daya. Semakin dilontarkan, semakin terkulai. Benar kata puisi Karl Wolfskehl. Und ob ihr tausend Worte habt: Dan Wort, das Wort ist tot. “Dan karena kalian memiliki seribu kata: Maka kata, kata itu pun mati.”

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 September 2009

Tidak ada komentar: