01 September 2009

Keduanya Sama Janggal

Demo Aldiras dan FPKL di Lembata

Oleh Frans Anggal

Forum Peduli Keadilan Lembata (FPKL) berdemo di Lewoleba, Senin 31 Agustus 2009. Dari pernyataan sikapnya, demo FPKL ini tandingan atas demo Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) seminggu sebelumnya, Senin 24 Agustus 2009.

Aldiras desak Bupati Manuk mundur. FPKL sebaliknya, dukung kepemimpinan Manuk sampai masa jabatan berakhir 2011. Aldiras serahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus kematian Yoakim Langoday. FPKL sebaliknya, desak polres dibubarkan. Aldiras kecam anak bupati yang suka atur-atur proyek: Erni Manuk tersangka perencana pembunuhan Langoday. FPKL sebaliknya, bela sang caleg terpilih PDIP seraya desak PDIP batalkan pemecatan.

Kalau tentang semua itu Aldiras dan FPKL berlawanan, tidak demikian tentang yang satu ini. Aldiras dan FPKL sama: menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menunut peradilan bersih, adil, tuntas. Namun dalam kesamaan itu keduanya serentak berbeda.

Di satu pihak, seperti Aldiras, FPKL menyatakan menghormati hukum, mendukung proses hukum, dan menuntut peradilan bersih, adil, tuntas. Di pihak lain, berbeda dengan Aldiras, FPKL mendesak Polres Lembata dibubarkan. Bagaimana mungkin proses hukum yang dituntutnya bisa berjalan kalau institusi hukumnya dibubarkan? Janggal!

Apakah cuma FPKL yang janggal? Tidak. ‘Kejanggalan’ lain diperlihatkan Aldiras dalam demomya. Aldiras mendesak Bupati Manuk mundur karena dinilai gagal membangun Lembata. Kejanggalan tuntuan ini tidak terletak pada tidak masuk akalnya, tapi pada tidak realistisnya. Aldiras menunut sesuatu yang sulit, untuk tidak mengatakannya mustahil, dipenuhi. Bupati Manuk mundur?

Mundur tidak sama dengan pemberhentian atau pemecatan (impeachment). Mundur itu adalah mengundurkan diri. Sesuatu yang sulit terjadi pada diri pejabat publik di Indonesia. Kalau pemecatan, sudah banyaklah, bahkan dari presiden. Soekarno dipecat MPRS. Gus Dur dipecat MPR. Mengundurkan diri? Bisa dihitung dengan jari. Presidennya, cuma Soeharto, setelah didesak mahasiswa. Wapresnya, paling-paling Bung Hatta, setelah dikecewakan Bung Karno. Menterinya, antara lain SBY, setelah ‘dianiaya’ Megawati. Bupati? Mana ada!

Bupati Manuk sendiri sudah langsung menanggapi tuntuan Aldiras lewat jumpa pers. Kata dia, Lembata merupakan satu dari jumlah terbatas daerah otonomi baru di Indonesia yang dinilai berhasil oleh pemerintah pusat. Lainnya, jumlahnya jauh lebih banyak, justru dinilai gagal dan terancam disatukan kembali dengan kabupaten induk. Jadi, tidak benar 10 tahun otonomi Lembata itu gagal. Maka, tidak ada alasan ia mengundurkan diri. Kalaupun dipecat, dasarnya apa? Semuanya ada aturannya. Tidak cukup hanya karena desakan Aldiras.

Dari sisi hukum dan UU, tanggapan Bupati Manuk tepat. Dengan begitu, tuntutan Aldiras pun kehilangan dasar pijak. Ataukah barangkali Aldiras mengharapkan dasar lain? Dasar etika? Jawabannya kembali ke soal tadi: mana ada bupati di Indonesia yang mundur karena rasa bersalah atau rasa malu.

Lemahnya basis etika itulah yang mendasari sentilah Om Toki dalam “Senggol” Flores Pos Rabu 26 Agustus 2009. “Massa Aldiras desak Bupati Manuk Mundur.” Sentilan Om Toki? “Mereka kira Bupati Manuk itu orang Jepang.” Di Jepang, mengundurkan diri merupakan bentuk pertanggungjawaban moral. Pejabat publiknya punya rasa bersalah dan rasa malu. Di Indonesia? Andalah yang menjawab.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 September 2009

Tidak ada komentar: