Bimtek DPRD ke Jakarta
Oleh Frans Anggal
Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Senin 14 September 2009 berceloteh tentang bimtek DPRD ke Jakarta. Celotehnya dipicu dua peristiwa. Di Flotim, ketua sementara DPRD bilang bimtek ke Jakarta itu untuk kepentingan rakyat. “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.” Di Lembata, 4 anggota DPRD tidak ikut bimtek. “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.”
Keempat anggota DPRD Lembata itu sudah omong, diwartakan Flores Pos hari sebelumnya. Ada yang tidak ikut ke Jakarta atas keputusan partai. Itu berarti, partailah yang mem-bimtek mereka di tempat. Ada pula yang tidak ikut ke Jakarta setelah bersepakat dengan anggota dewan separtai. Kesepakatannya: cukup beberapa orang yang jalan. Yang didapat di Jakarta tinggal ditularkan kepada yang tidak jalan. Yang pergi akan mem-bimtek yang tidak pergi. Mereka perlakukan bimtek sebagai ‘bimbingan untuk para pembimbing’ (training of trainers).
Apa yang dilakukan ini merupakan pembongkaran terhadap anggapan palsu bahwa bimtek ke Jakarta itu wajib. Semua pergi seolah-seolah wajib. Padahal, tidak. Pergi semua, tidak wajib. Bahkan, pergi pun tidak wajib. Ini hak, bukan kewajiban.
Selain sebagai pembongkaran anggapan palsu, pilihan sikap segelintir anggota dewan ini merupakan bukti kecerdasan. Cerdas memilih cara. Cara pilihan mereka pun efektif, efisien, dan ekonomis. Ini juga bukti kecerdasan berotonomi. Mereka menyimpangi ‘arus utama’ (main stream) DPRD yang cenderung suka akan keseragaman. Apalagi kalau yang namanya bepergian jauh, bimtek rame-rame, stuba rame-rame: seragam.
Di tengah arus utama keseragaman ini, segelintir anggota dewan itu tampak lain dari yang lain. Oleh sesama anggota dewan, boleh jadi mereka dinilai negatif. Tidak menghargai kebersamaan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan. Lebih daripada itu, mereka bisa saja dicap genit, gila popularitas, sok pahlawan, dll.
Pertanyaan kita: senegatif itu jugakah penilaian masyarakat? Dipastikan, tidak. Di mata masyarakat, mereka ini justru menjadi oasis di tengah gurun keseragaman. Umumnya, saat kampanye, caleg menampilkan personalitas. Begitu terpilih dan dilantik, personalitasnya perlahan tenggelam. Yang tampak adalah uniformitas. “Aku” berubah menjadi “kami”, bahkan “kita”. Tidak demikian dengan segelintir orang itu. Mereka tetap tampil sebagai ”aku” yang memiliki sense of mission. Yang memiliki panggilan hati yang bermula dari rasa cinta kepada rakyat.
Karena itu, merekalah yang lebih pantas berucap “untuk kepentingan rakyat”. Tapi dalam kenyataan, frasa ini justru paling banyak dilantangsuarakan oleh “kami’ yang ngotot pergi bimtek ke Jakarta. Satu di antaranya, ketua sementara DPRD Flotim yang dicelotehi Om Toki. Bimtek ke Jakarta untuk kepentingan rakyat, katanya. “Untuk kepentingan rakyat”. DPRD lama, DPRD baru, Orde Lama, Orde Baru, mengusap-usap frasa yang sama. Begitu klisenya. Inilah yang menjadi dasar celoteh Om Toki: “Tak perlu omong, karena pasti omongnya begitu.”
Sebaliknya, kepada segelintir anggota DPRD Lembata yang tidak ikut bimtek ke Jakarta, Om Toki menuntut: “Perlu omong, kalau tidak nanti dianggap gila.” Yang menganggap mereka ‘gila’ adalah “kami” pencinta uniformitas. Supaya rakyat tidak ikut-ikutan menilai mereka gila, mereka harus omong. Mereka sudah omong. Sekarang, tinggal rakyat yang menilai: siapa yang gila?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar