Bolak-balik BAP Kasus Kematian Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Sudah setahun, proses hukum kasus kematian Romo Faustin Sega Pr. Awalnya kandas di Polres Ngada. Lalu lancar ketika diambil alih Polda NTT. Sekarang kandas lagi, di tangan Kejari Bajawa. BAP belum kunjung di-P21. Kejari masih bolak-balikkan BAP. Apa yang kurang? Apa yang perlu dilengkapi polisi?
Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende Romo Rony Neto Wuli Pr sesalkan kinerja kejari. Penyesalan yang sama disampaikan Ketua Divisi Mediasi dan Advo¬kasi JPIC Gerardus Reo. Mereka mendesak kejari transparan dan segera P-21-kan BAP agar bisa dilimpahkan ke pengadilan dan disidangkan.
Tuntutan ini tepat. Dalam sistem demokrasi, kontrol warga terhadap negara dilakukan melalui dua jalur. Jalur langsung: pemilu. Jalur tak langsung: transparansi informasi. Melalui pemilu, warga mengontrol negara dengan menyeleksi dan memilih pemimpin yang dapat dipercaya. Melalui transpa¬ransi informasi, negara yang hakikatnya cenderung menutup informasi akan terkontrol secara baik.
Di Indonesia, keleluasaan kontrol warga terhadap negara masih terbatas pada jalur pemilu. Belum sungguh-sungguh nyata pada jalur transparansi informasi. Padahal, jalur ini telah diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 28F dan UU No 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP).
Bagaimana bisa memperoleh informasi kalau tidak ada transparansi? Kebebasan informasi publik tidak bisa ditawar-tawar. Pada titik inilah para pemangku kekuasaan merasa terganggu kepen¬tingannya. Mereka tidak leluasa lagi menjadi drakula pengisap darah, tikus pencuri, dan pedagang perkara.
Bayangkan kalau UU KIP tidak ada. Praktik Orba tetap berlangsung. Presiden hingga ketua RT bisa seenaknya menutup akses publik untuk memperoleh informasi. Mereka bisa bikin stempel bertuliskan RAHASIA, yang mudah saja dipesan murah di pinggir jalan. Hanya dengan stempel itu, sebuah dokumen bisa disulap menjadi rahasia negara. Yang membo¬corkannya dianggap membocorkan rahasia negara. Upaya masyarakat dan jurnalis untuk memperoleh informasi dikriminalkan.
Padahal, kalaupun UU KIP tidak ada, memperoleh informasi tetaplah hak setiap orang yang dijamin konstitusi. Secara intrinsik, hak ini mempra¬syarat¬kan adanya transparansi informasi. Tidak adanya UU tidak boleh menjadi dalih untuk tidak transparan. Kevukaman UU tidak memvakumkan amanat konstitusi, dan tidak memvakumkan prasyarat yang memastikan amanat konstitusi itu terlaksana. Kini, kevakuman itu telah lewat. UU KIP sudah diberlaku¬kan sejak Kamis 3 April 2008.
Dengan dasar ini, kita beralasan menuntut Kejari Bajawa: transparanlah! Bolak-balik BAP itu ada apa? Apanya yang belum lengkap? Apanya yang masih harus dilengkapi? Jelaskan kepada publik! Publik berhak untuk tahu. Hak hanya mengenal satu kata: penuhi! Kejari berkewajiban penuhi itu.
Dalam UU KIP, yang dikecualikan hanyalah menyangkut kerja intelijen, instalasi militer, dan hak intelektual. Jangan coba-coba menempelkan 'rahasia negara' pada bolak-balik BAP. 'Merahasia-negarakan' aksi pingpong BAP hanya akan merugikan proses penegakan hukum di satu sisi dan mengun¬tungkan proses perdagangan hukum di sisi lain.
Kita tidak rela diperlakukan begitu. Yang sudah ada di ruang publik janganlah ditarik masuk ke ruang privat, ruang gelap, ruang drakula, ruang tikus.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar