Perlu Tidaknya Bimtek ke Jakarta
Oleh Frans Anggal
Pulang bimtek dari Jakarta, anggota DPRD Lembata ribut dalam rapat internal Kamis 24 September 2009. Demikian warta Flores Pos Sabtu 26 September.
Dalam rapat, mereka kembali perdebatan perlu tidaknya bimtek ke Jakarta. Karena tak baku ketemu, muncul desakan perdebatan diakhiri saja. Mendingan bikin laporan tertulis. Yang pergi bimtek laporkan hasilnya apa. Yang tidak pergi, 5 orang, lapokan apa yang dilakukan di DPRD.
Dalam rapat, mencuat pula wacana bahwa bimtek itu hak, bukan kewajiban. Dan, ternyata, begitu kata yang ikut: bimtek bisa dibikin di Lewoleba, tidak harus di Jakarta.
Luar biasa ini DPRD Lembata. Pergi bimtek, debat dulu. Pulang bimtek, debat lagi. Yang diperdebatkan tetap yang itu-itu: perlu tidaknya bimtek. Hasil perdebatannya sama juga: tidak ada kesekapatan. Karena itu, sebelum bimtek, hasilnya ini: yang mau pergi, pergi. Yang mau tinggal, tinggal. Sepulang bimtek, hasilnya sama. Yang pergi bilang, bimtek perlu. Yang tinggal bilang, tidak.
Ini namanya perdebatan bolak-balik dan balik-bolak. Awal sama dengan akhir. Dan akhir bukanlah sesuatu yang selesai. Daripada tidak selesai-selesai, lebih baik diakhiri saja. Maka, perdebatan pun terhenti, sedangkan soalnya jalan terus. Artinya: kapan terungkit lagi, tinggal diperdebatkan lagi. Bila tetap tidak sepakat, paling-paling voting. Artinya: ‘kebenaran’ ditaruh di ujung jari dan ditentukan oleh jumlah jari. Demokrasi substansial tergusur oleh demokrasi prosedural.
Mulanya, persoalan bimtek berawal dari keraguan publik akan efektivitas dan efisiensinya. Sayang, aspirasi ini kurang diolah baik oleh DPRD. Keraguan publik tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Seandainya keraguan mereka kembangkan menjadi pertanyaan atau kritik, dan pertanyaan mereka tingkatkan menjadi penyelidikan, hasil akhirnya pasti lain. Mereka bisa bersepakat setelah berdebat. Dan kesepakatan mereka bisa matang teruji sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dari perdebatan terhenti tapi tidak selesai DPRD Lembata sepulang bimtek seperti diberitakan itu, kita mendapat beberapa informasi penting. Bahwa, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu dengan pasti: bimtek itu hak, bukan kewajiban. Juga, di Jakarta saat bimtek barulah mereka tahu, juga dengan pasti: bimtek bisa dilakukan di Lewoleba. Boleh dikatakan, kesempatan bimtek adalah juga kesempatan untuk menyelidiki hal yang sudah mereka perdebatkan sebelum berangkat.
Bahwa kepastian seperti ini penting dan berguna, ya. Tapi, untuk mendapatkan kepastian itu harus pergi bimtek, tentu tidak. Justru di sini poin kritik kita. DPRD Lembata tidak mengolah dengan baik keraguan publik. Keraguan tidak mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan tidak mereka garap menjadi penyelidikan.
Sangat tidak sulit, tidak lama, tidak mahal, dan karena itu tidak perlu pakai bimtek, untuk menyelidiki: apakah bimtek hak atau kewajiban, apakah harus di Jakarta atau bisa di Lewoleba, apakah mesti sekarang atau tunggu kelengkapan dewan terbentuk, dan apakah mesti semua pergi atau cukup beberapa.
Dari perdebatan yang muncul, baik sebelum maupun sesudah bimtek, kita tahu, langkah sederhana ini tidak mereka tempuh. Bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau. Sebab, kalau ditempuh, rame-rame ke Jakarta-nya bisa gagal. Hmmm.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar