23 September 2009

Kerugian Negara koq Ngotot

Kasus Dugaan Korupsi di PDAM Ende

Oleh Frans Anggal

Sudah 6 tahun usia kasus dugaan korupsi pembelian mesin pompa air di PDAM Ende. Sejak 2003, lima kali BAP-nya bolak-balik saja polisi-jaksa. Alasannya, biasa: belum lengkap. Tidak hanya itu, kasus ini malah berat untuk dilanjutkan. Begitu kata Kajari Marihot Silalahi seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 19 September 2009.

Mengapa berat dilanjutkan? Berdasarkan pemeriksaan BPKP, kerugian negara tidak dapat dihitung. Padahal, dasar pembuktian harus jelas sejak awal agar tidak menyulitkan jaksa dalam persidangan. Kajari tidak mau kalau kerja keras jaksa dan polisi berakhir sia-sia dengan bebasnya tersangka lantaran jaksa tidak mampu membuktikan dakwaan.

Kata kunci dalam argumentasi Kajari Silalahi adalah ‘kerugian negara’. Lebih khusus, ‘besarnya kerugian negara’. Ini mengandaikan, kerugian negara ‘harus dapat dihitung’. Kalau tidak dapat dihitung, bagaimana? Ya, berat untuk dilanjutkan! Kalau berat? Ya, di-SP3-kan saja! Titik.

Benarkah jalan pikiran seperti itu? Mari simak UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam UU ini hanya ada dua pasal yang mengatur tipikor yang merugikan keuangan negara, yaitu pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Pertanyaan kita: mengapa ngotot dengan ‘kerugian negara’ yang notabene hanya termaktub dalam dua pasal? Dikemanakan pasal-pasal lain?

Dalam UU No 31/1999 dan perubahannya itu, kerugian negara hanya salah satu unsur korupsi. Kenapa ngotot dengan yang ‘salah satu’ ini seolah-olah ‘satu-satunya’ unsur korupsi? Ada banyak pasal dalam UU ini yang justru tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara. Satu contoh, pasal tentang penyuapan. Pejabat yang terima suap dari seseorang tidak dapat dikatakan merugikan keuangan Negara, tapi pasti merugikan masyarakat. Bahkan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi dengan UU No 7/2006, unsur kerugian negara tidak dimasukkan lagi sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.

Simak pula persisnya bunyi pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor. Di sana ada frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kata “dapat” di sini memberi arti: baik kerugian yang nyata (actual loss) maupun yang hanya berupa kemungkinan kerugian (potential loss).

Kata “dapat” ini juga merelatifkan pemutlakan pembuktian. Artinya, perihal merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak harus dibuktikan. Kalau tidak harus dibuktikan, dan ternyata tidak bisa dihitung, mengapa mesti ngotot?

Lebih jauh, menukik ke inti soal. Kata “dapat” itu menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, bukan delik materiil. Artinya: adanya tindak pidana korupsi cukuplah dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat dari perbuatan itu, dalam hal ini kerugian negara.

Dengan ini kita hendak menegaskan kepada Kajari Silalahi hal satu ini. Janganlah ngotot dengan ‘kerugian negara’, khususnya dengan ‘besarnya kerugian negara’ yang mau tidak mau ‘harus dapat dihitung’. Kerugian negara hanya salah satu, bukan satu-satunya unsur korupsi.

Berngotot-ngotot dengan kerugian negara, seolah-olah itu satu-satunya unsur korupsi, sementara kerugian itu sendiri tidak dapat dihitung BPKP, hanya akan melahirkan dan menguatkan kecurigaan publik. Bahwa: kajari berusaha menyelamatkan para tersangka. Pertanyaan berikutnya: ini ada apa, Pak?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 September 2009

Tidak ada komentar: