Benarkah Mengumbar Sadisme?
Oleh Frans Anggal
Video klip lagu Doa Faustin dikritik. Gambar-gambarnya dinilai terlalu vulgar menampilkan derita Romo Faustin Sega Pr. Padahal, proses hukum sedang berjalan. “Terkesan mengkomersialkan kasus untuk pentingan bisnis.” Begitu penilaian Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Ndora, Agustinus Bebi Daga, seperti diwartakan Flores Pos Senin 31 Agustus 2009.
Produser RollSand Family, Bonney Zua, menepisnya. Kata dia, video klip ini bukti cinta dan penghormatan kepada sang gembala. Semuanya telah melalui prosedur. Ada izin dari gereja dan keluarga. Beberapa gambar sudah disensor.
Tanpa mengamati video klipnya, kita sulit memberi penilaian. Kalaupun diberikan, akan cenderung tidak seragam. Satu bilang pas. Lain bilang berlebihan. Banyak faktornya. Salah satunya, selera. De gustibus non est disputandum, kata pepatah Latin. Tidak ada yang patut diperdebatkan menyangkut selera.
Apakah penilaian Bebi Daga melulu atas dasar selera? Ataukah justru mencerminkan rasa kepatutan di dalam masyarakat? Belum bisa dijawab kalau hanya berdasarkan sebuah berita yang, oleh kebergegasan, belum lengkap merekam fakta. Namun dari berita itu, kita dapat menyatakan sesuatu.
Gambar yang vulgar, detail, bisa memenuhi hasrat ingin tahu. Yang terperinci itu membuat sesuatu jadi gamblang (details make clear). Ini kaidah umum publikasi. Namun, seumum apa pun kaidah, tetap ada perkecualian. Menyangkut kriminalitas dan tindakan seksual, kaidah tadi tidak bisa dibenarkan.
Kenapa video klip lagu Molenvliet Sex After Lunch (SEAL) ditolak diputar di beberapa stasiun TV, misalnya? Karena dianggap mengandung konten pornografi frontal. Video klip terbarunya Perfect Murder juga begitu. Terlalu mengumbar sadisme. Mata dicungkil dengan garpu, leher digorok, jenazah ditumpuk dalam sumur lalu dibakar. Adegan ini harus diganti agar bisa laik tayang.
Anehnya, tidak demikian dengan film Mel Gibson, The Passion of the Christ, tahun 2004 silam. Beredar luas dan ditonton ‘penuh iman’. Padahal tidak sedikit yang menilainya mengandung konten sadisme berlebihan. Lebih setengah dari dua jam film ini secara terus-menerus mempertontonkan penyiksaan terhadap Yesus. Film ini ‘berisi darah’ yang sebenar-benarnya.
“Darah di mana-mana. Jangat itu, di bagian pinggang, koyak-koyak oleh pukulan cambuk bertembilang. Sepasang mata itu hampir tertutup oleh cairan kental dari luka. Kedua telapak tangan itu memuncratkan darah ketika dipantek dengan paku besi pada kayu salib.... Begitukah sengsara Yesus seharusnya ditampilkan? .... Saya menyaksikan sebuah pornografi penyiksaan,” tulis Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir” TEMPO Senin 5 April 2004.
Menurutnya, pornografi adalah suatu bentuk ekspresi yang menerobos apa yang selama ini tak dianggap pantas. Menggambarkan tubuh manusia dengan maksud menimbulkan rangsangan yang optimal. Sebab itu, dalam pornografi, bagian badan manusia diurai dengan bergairah, dan detail sama pentingnya dengan totalitas—sebuah totalitas yang hampir sepenuhnya tampak sebagai sebuah peristiwa badan.
Pornografi penyiksaan pulalah yang di tampilkan Polri ketika mengizinkan TV menayangkan langsung penyergapan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Menembak, membom, selama 17 jam! Hasilnya: mayat, yang ternyata bukan Noordin M Top.
Untuk apa semua ini? Cinta? Bisnis? Pertanyaan yang sama dapat kita alamatkan ke video klip lagu Doa Faustin.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar