30 Agustus 2009

Lembata: Fenomena Osi Wejak

Ancaman terhadap Para Pedagang Pasar Lewoleba

Oleh Frans Anggal

Para pedagang ikan dan sayur di Pasar Lewoleba diancam oleh seseorang bernama Osi Wejak. Dua kali ia datang mengancam, Selasa (24/8) dan Rabu (25/8). Kali kedua, ia didampingi anak Andeas Duli Manuk, Bupati Lembata. Namun anak bupati hanya berdiri diam. Osi Wejak-lah yang beraksi. “Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Ia menunding para pedagang sudah menerima uang dari keluarga Langoday.

Demo yang dirujuk Osi Wejak adalah demo Aliansi Keadilan dan Kebenaran Anti Kekerasan (Aldiras) di Lewoleba, Senin 24 Agustus 2009. Demo ini mendesak polisi dan jaksa serius, bersih, tegas, tuntas, dan adil menangani kasus kematian Yoakim Langoday. Para pendemo juga menyoroti kepemimpiann Bupati Manuk yang dinilai gagal.

Siapakah Osi Wejak? Warta Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009 tidak menjelaskannya. Namun, siapa pun dia, aksinya khas preman. Melapor ke polisi merupakan langkah yang tepat. Seperti dilakukan forum Geram di Labuan Bajo, Mabar, Juli 2009.

Tiga kali Geram diancam preman.Pertama, 27 Juni. Yang dikejar adalah Theo Hamun, Ketua Arsita. Ini kelanjutan teror di lokasi tambang Batu Gosok 26 Juni. Kedua, dialami wartawan Kompas di Hotel Wisata yang didahului telepon pejabat bernada keras. Ketiga, teror ke rumah Kornelis Rahalaka, Sekretaris Geram, 6 Juli.

Ini negara hukum. Hukum diandalkan memutuskan mata rantai kekerasan, selain pendidikan dalam artian luas. Jika ancaman dibalas ancaman, mata rantai kekerasan tak akan putus. Darah tidak bisa dibersihkan dengan darah.

Aldiras dan Geram berbeda. Perjuangan mereka pun berbeda. Namun pihak yang mereka hadapi sama: penguasa. Fenomena yang terjadi dalam penghadapan itu pun sama pula. Seolah-olah, menghadapi penguasa berarti menghadapi para kaki tangan. Terlepas dari apakah kaki tangan itu bergerak refleks ataukah digerakkan terencana oleh otak.

Fenomena seperti ini lahir dari pola hubungan ‘bapak-anak buah’ (patron client relationship). Biar lebih rendah derajatnya, kita namakan saja pola ‘gembala-domba‘. Si ‘bapak buah’ gembalanya, si ‘anak buah’ dombanya. Dalam pola ini, seni mengelola kekuasaan adalah ‘seni menggembala’ (art of shepherding). Menggembala demi keuntungan si gembala.

Gembala yang ‘baik’ selalu menggiring dombanya ke padang rumput yang hijau dan sumber air yang segar. Tujuannya hanya satu, agar piaraannya menjadi tambun. Kalau sudah tambun, untuk siapakah gerangan domba-domba itu? Tidak lain tidak bukan, untuk si gembala sendiri. Domba dipelihara supaya bisa dimanfaatkan.

“Kamu yang ikut demo itu, kamu lihat besok!” Begitu ancaman Osi Wejak kepada para pedagang di Pasar Lewoleba. Apakah ia ‘kaki tangan’ perintahan ‘otak’, ‘anak buah’ suruhan ‘bapak buah’, dan ‘domba’ giringan ‘gembala’? Entahlah. Proses hukum laporan para pedagang akan membuktikannya.

Yang menarik, tudingannya. Ia menuding para pedagang sudah dibayar keluarga Langoday. Yang belajar teori psikologi Gestalt segera dapat melihat ini sebagai ‘proyeksi’. Proyeksi terjadi dalam diri orang yang tidak dapat menghadapi kelemahannya, yang direpresikannya. Seorang pencuri, misalnya, mencurigai kejujuran orang lain. Prinsipnya: ‘Dia adalah seperti aku’.

Patut dapat diduga, fenomena Osi Wejak adalah fenomena ‘proyeksi kaki tangan’, ‘proyeksi anak buah’, ‘proyeksi domba’.

“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Agustus 2009

Tidak ada komentar: