Demo Aldiras tentang Kematian Langoday
Oleh Frans Anggal
Massa yang tergabung dalam Aliansi Keadilan dan Perdamaian Anti Kekerasn (Aldiras) berdemo di Lewoleba, Lembata, Senin 24 Agustus 2009. Mereka mendesak polisi dan jaksa serius, bersih, tegas, tuntas, dan adil menangani kasus kematian Yoakim Langoday.
Yoakim Langoday adalah Kabid Pengawasan, Pengolahan, dan Pemasaran pada Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Ia korban pembunuhan berencana. Ditemukan tewas di hutan bakau Pantai Lamahora, 19 Mei 2009.
Saat mendatangi mapolres, wakil demonstran menyerahkan piagam penghargaan kepada Kapolres Marthen Johannis atas komitmennya mengungkapkan kasus ini. Mereka berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata.
Ini adegan langka. Karena itu, si penerima piagam, Kapolres Johannis, pantas disebut ‘makhluk langka’. Di banyak tempat di republik ini, kebanyakan kapolres menerima kecaman bahkan caci maki. Memang banyak juga yang menerima piagam penghargaan, tapi piagam kedinasan. Biasanya, diserahterimakan dulu baru dipajang di ruang kerja.
Yang satu ini, lain. Piagamnya dari demonstran. Yang lebih dahulu ‘terpajang’ di hati masyarakat, untuk kemudian diserahterimakan kepada kapolres. Dengan ini kita hendak mengatakan, penyerahan ini tulus, ikhlas, jujur, yang lahir dari getaran nurani masyarakat. Yang menyerahkannya, dua lelaki lanjut usia. Muhammad Ali Raybelen dan Petrus Gute Betekeneng. Keduanya deklarator otonomi Lembata. Tak ada yang meragukan integritas kepribadian tokoh ini.
Orang Flores-Lembata dikenal blakblakan. Keris tidak mereka ‘sembunyikan’ di belakang punggung. Keris mereka ‘perlihatkan’ di depan perut. Kegembiraan dan kemarahan tidak mereka telan. Mereka ungkapkan. Dalam berucap, artikulasi mereka terang dan jelas. Dari psikologi masyarakat seperti itulah piagam penghargaan ini lahir. Tanpa topeng. Sungguh, ini sebuah penghormatan.
Bagi Kapolres Johannis, bukan hanya penghormatan, piagam ini adalah tugas. Sebab, dalam pernyataan penyerahan piagam, masyarakat tidak hanya ‘memuji’ tapi juga ‘berharap’. Mereka memuji komitmen kapolres dalam mengungkapkan kasus kematian Langoday. Mereka juga berharap kapolres tetap menegakkan kebenaran, keadilan, dan hukum di Lembata. Maka, piagam ini bukan hanya ‘piagam karena’, tapi juga ‘piagam untuk’.
Kita sepakat, Kapolres Johannis pantas menerima itu. Baru di tangan dialah, penanganan kasus mulai memasuki titik terang. Sebelumnya, pada masa pendahulunya, Geradus Bata Besu, lidik kasus begitu lamban. Keluarga tidak puas, lalu mendesak Polda NTT mengambil alih penanganan. Desakan keluarga dipenuhi. Bukan hanya mengambil alih kasus, polda juga mencopot Bata Besu. Ia diganti Marthen Johannis. Johannis pun berjanji, akhir Juli tersangka pelaku diumumkan. Terbukti, ia tepat janji.
Bukan hanya diumumkan, para tersangka juga ditahan. Terdiri dari eksekutor: Lambertus Bedy Langoday (adik kandung korban), Mathias Bala, dan Muhamad Kapitan. Sedangkan perencana: Erni Manuk (putri Bupati Andreas Duli Manuk) dan mitranya Bambang Triantara.
Untuk yang sudah, Kapolres Johannis pantas dipuji. Untuk yang belum, ia pantas didorong. Karena itu, piagam ini bukan hanya ‘piagam penghargaan’, tapi juga ‘piagam tantangan’. Tantangan yang didesakkan adalah ini: periksa Bupati Manuk sebagai saksi. Bupati sepertinya tahu motif pembunuhan, hal yang justru sedang dilidik oleh polisi. Kata bupati, kematian itu ada kaitan dengan proyek di Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Nah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 26 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar