Eksplorasi Tambang Emas Tebedo di Mabar
Oleh Frans Anggal
Bupati Mabar Fidelis Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining dilaporkan ke polisi oleh forum Geram di Labuan Bajo, Rabu 19 Agustus 2009. Laporan ini terkait eksplorasi tambang emas di Tebedo yang sudah merambah hutan lindung Nggorang Bowosie RTK 108.
Dalam investigasi Geram ke lokasi Minggu 16 Agustus, ditemukan: 66% areal yang sudah dieksplorasi merupakan hutan lindung. Sebanyak 7 dari 12 parit uji yang sudah digali terletak dalam hutan itu. Ribuan pohon tumbang.
Langkah Geram tepat: proses hukum. Ini sudah tindak pidana. Tidak melaporkannya sama dengan membiarkan kejahatan berlangsung terus. Dan itu berarti hutan dirusakkan terus.
Merusak hutan tidak hanya menghilangkan banyak pohon, tapi juga memusnahkan semua makhluk hidup di dalamnya. Jadi, bukan hanya pidana, ini juga dosa. Dosa pembunuhan. Pembunuhan terhadap kehidupan (biocide). Pembunuhan terhadap lingkungan (ecocide). Pembunhan terhadap bumi (geocide). Tidak langsung, pembunuhan terhadap manusia (homocide), bahkan pembunuhan terhadap diri sendiri (suicide).
Geram terdorong tanggung jawab hukum dan moral itu. Mereka bekerja tanpa digaji. Suatu keanggunan. Kita patut angkat topi. Sedangkan untuk yang lain, yang ditugasi negara menjaga hutan, yang digaji pakai uang rakyat, kita berbelasungkawa. Mereka sepertinya sudah mati semua.
Di manakah dinas kehutanan? Di manakah kadishut? Warga yang tebang satu pohon di hutan lindung kamu tangkap. Kapan kamu bekuk orang tambang yang tumbangkan ribuan pohon itu?
Kasus Tebedo sudah lama disinyalir oleh Geram. Yang terakhir diangkat oleh Fraksi Golkar Plus di DPRD Mabar dalam rapat paripurna Jumat 7 Agustus 2009. Waktu itu Kadishut Edward menjawab, “Kita sudah dengar itu. Dan sejak kemarin staf saya berada di Tebedo. Hasilnya belum tahu. Jika betul, langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.”
Seminggu lewat, apa hasil kerja dishut? Aman-aman saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Tebedo. Beda dengan Geram. Pergi sehari, hasil investigasinya jelas dan tegas: hutan lindung sudah dan sedang dirusakkan. Kalau tunggu dishut bergerak, kapan tempo? Geram berinisiatif justru karena instrumen negara yang digaji pakai uang rakyat sudah mandek, tidak berdaya, kecut, pasrah.
Kita maklum. Seorang kadis sulit ‘berbeda’ dari bupatinya. Berpendapat pun begitu. Tentang hal ‘berisiko’, sering digunakan rumusan halus sopan lemah-gemulai sehingga menjadi kabur samar-samar tak jelas lagi apa maksudnya. Contohnya, jawaban Kadishut Edward dalam rapat paripurna itu. “Jika betul (eksplorasi tambang emas Tebedo merambah hutan), langkah yang kita tempuh tidak keluar dari aturan.” Ketika ditanyai DPRD apa konkretnya, Edward tetap menjawab, “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Jangan-jangan ‘aturan’ itu hanya nama lain dari ‘budaya politik’. Budaya asal bapak senang. Yang bapak senang, itulah aturan. Hutan dirusak ekplorasi, tidak apa-apa, kan bapak sudah kasih izin eksplorasi. Masa ‘anak buah’ melawan ‘bapak buah’? Itu sudah keluar dari aturan. “Pokoknya kita tidak keluar dari aturan.”
Dilihat dari budaya politik seperti ini, Geram tepat: melaporkan si ‘bapak buah’, bukannya si ‘anak buah’. Tinggal, kerja polisi. Gawatnya, kalau kapolres juga rela menjadi ‘anak buah’. Hancurlah Mabar.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 21 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar