Kasus Ekplorasi Tambang Emas di Tebedo
Oleh Frans Anggal
Ekplorasi tambang emas di Tebedo, Mabar, dihentikan sementara. Dalam warta Flores Pos Sabtu 22 Agustus 2009, Bupati Fidelis Pranda mengemukakannya dengan cara berikut. Eksplorasi dihentikan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait. Langkah ini diambil setelah ada laporan dari dishut. Penghentian hanya 30 persen, pada areal yang masuk kawasan hutan.
Tampak, alasan Bupati Pranda tidak menohok ke inti masalah. Ia berputar-putar ke persoalan tidak adanya koordinasi. Seolah-olah itulah yang ditemukan dan dilaporkan dishut. Seolah-olah tatkala staf dishut ke lokasi, yang mereka temukan adalah hal yang abstrak itu: masalah koordinasi.
Aneh kalau staf dishut tidak menemukan lubang-lubang parit uji. Aneh kalau staf dishut tidak menemukan pohon bertumbangan. Sebagian kegiatan dan akibat ekplorasi itu menimpa kawasan hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108. Aneh kalau hal-hal sekonkret ini diabstrakkan menjadi masalah koordinasi.
Kita berkeyakinan, laporan dishut tidak seperti itu. Ini hanya ‘laporan’ Bupati Pranda kepada pers. Dengan tidak menohok ke substansi, ia terkesan menggiring dan membatasi alasan penghentian eksplorasi hanya pada persoalan teknis prosedural: tidak adanya koordinasi.
Patut dapat diduga, ini taktik ‘penghindaran’ (avoidance). Perhitungannya: karena cuma masalah teknis antar-instansi maka penyelesaiannya pun cukup secara teknis kepemerintahan. Seakan-akan persoalan ini mau dilokalisasi menjadi persoalan intern kedinasan semata. Dengan demikian, tak ada tempat bagi intervensi hukum dan segala dampaknya.
Di republik sialan ini, cara basi ini tetap saja digunakan. Tindak pidana korupsi, misalnya, direduksi menjadi sekadar kesalahan prosedural. Ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR, sudah dikembalikan lagi ke kas Jamsostek.
Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Padahal, seharusnya, perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
Kita khawatir, kasus ekplorasi tambang emas Tebedo mau dibikin seperti ini. Kita tidak rela. Karena itu, kita luruskan dulu logika Bupati Pranda. Eksplorasi tambang emas Tebedo dihentikan bukan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait, tapi karena ekplorasi itu sudah memasuki hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.
Inti masalahnya adalah perambahan hutan. Ini sudah merupakan tindak pidana. Fakta hukumnya jelas, meski tidak ditonjolkan oleh Bupati Pranda. Ia mengatakan penghentian hanya 30 persen yakni pada areal yang masuk kawasan hutan. Kata ‘hanya’ di sini tidak menyusutkan fakta hukum. Biar cuma 1 persen, yang namanya rambah hutan ya tetaplah tindak pidana. Yang namanya tindak pidana ya haruslah diproses hukum.
Pada titik inilah langkah Geram melaporkan Bupati Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining sangat tepat. Geram melapor ke polres Rabu 19 Agustus. Anehnya, hingga Jumat 21 Agustus laporan itu belum diterima Kapolres Samsuri. Jujurkah kapolres?
Semoga ini juga bukan taktik ‘penghindaran’. Segera tindak lanjuti laporan Geram. Fakta hukumnya jelas. Semakin diperjelas oleh keputusan bupati menghentikan sementara ekplorasi. Tunggu apa lagi?
“Bentara” FLORES POS, Senin 24 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar