10 Agustus 2009

Skandal Manggarai Timur

Kasus Gaji Tenaga Harian Lepas Dinas P dan K

Oleh Frans Anggal

Tenaga harian lepas di Dinas P dan K Manggarai Timur mengeluh. Upah mereka selama empat bulan belum dibayar. Jumlah mereka 50-an orang. Gaji per bulan Rp725 ribu. Itu berarti tunggakan gaji sekitar Rp145 juta. Kadis P dan K Wilhelmus Deo mengakui masalah ini. Dia bilang, pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.

Menarik sekali jawaban sang kadis. Apalagi kalau dibandingkan dengan jawaban kadis lain di daerah lain dalam kasus yang kurang lebih sama. Segera akan terlihat, ada semacam ‘formula baku’ dalam jawaban.

Sekadar perbandingan, kita ambil contoh dari kabupaten induk Manggarai. Yaitu, jawaban Kadis Kesehatan Yulianus Weng menanggapi pengaduan para tenaga harian lepas bidang kesehatan yang belum menerima honor Januari-April 2009. Apa kata sang kadis? Bukan tidak bayar, tapi belum, karena masih diproses. Bandingkan dengan jawaban Kadis Deo: pembayaran sedang diproses, dalam beberapa waktu akan dituntaskan.

Bedanya apa? Tak ada. Formulanya sama: “masih diproses”, “sedang diproses”. Biasanya secara tersurat atau tersirat disertai dengan janji: “akan dituntaskan”, “akan dibereskan”, “akan dibayar”.

Jawaban dengan formula seragam ini mau mengesankan satu hal. Bahwa, pemimpin selalu bekerja maksimal, optimal, bahkan total. Kalau ada masalah, itu pasti bukan dari pemimpin, tapi dari pihak lain. Dalam kasus Manggarai Timur, pihak lain tidak disebutkan. Sedangkan dalam kasus Manggarai dinyatakan dengan jelas: dinas pendapatan dan keuangan.

Biasanya, kalau sudah melontarkan jawaban dengan formula baku tadi, seraya mencuci tangan seperti Pontius Pilatus dari segala cacat cela karena segala kesalahan sudah dilemparkan ke pihak lain, si pemimpin akan segera menepati janjinya. Di Manggarai, dua minggu setelah kasusnya diangkat, honor para tenaga harian lepas (mulai) dibayar. Di Manggarai Timur pun akan begitu. Ini menunjukkan apa? Sesungguhnya, letak masalah bukan pada siapa-siapa, bukan pada pihak lain, tapi pada diri si pemimpin sendiri.

Dalam dua contoh kasus di atas, juga pada banyak kasus lain, ada semacam kesamaan pada diri para pemimpin. Mereka barulah menganggap sesuatu itu masalah kalau sesuatu itu mulai dipermasalahkan orang lain. Dan setelah dipermasalahkan orang lain, barulah sesuatu itu mereka selesaikan.

Dalam hal rasa bersalah pun, mereka demikian. Yang menentukan rasa bersalahnya adalah orang lain, bukan perbuatannya sendiri. Penentunya: apakah orang lain tahu atau tidak perbuatan itu, bukan apakah perbuatan itu melanggar atau tidak hukum/moral. Makan uang, sejauh tidak diketahui orang lain, takut apa. Menahan atau tidak memperjuangkan gaji bawahan, kalau tidak dipermasalahkan, sibuk apa. Tapi kalau sudah dipublikasikan, yang membuat banyak orang tahu, maka semuanya segera dibereskan. Soalnya, mau simpan di mana ini muka. Malu. Muka, fasade, citra, nama, itulah yang penting. Budaya malu (shame culture) masih menang atas budaya rasa bersalah (guilt culture).

Bagi Manggarai Timur, hal seperti ini harus dipandang sebagai skandal besar. Besarnya, bukan karena jumlah korbannya 50-an atau jumlah uangnya Rp145 juta, tapi karena bobot moralitasnya. Belum apa-apa, sudah apa-apa. Baru dua tahun usia kabupaten ini, gelagat buruknya sudah hampir seperti kabupaten tua saja.

“Bentara” FLORES POS, Senin 10 Agustus 2009

Tidak ada komentar: