Penangkapan Ketua KPU Flotim
Oleh Frans Anggal
Di Ruteng, Manggarai, empat pengusaha dan dua PNS ditangkap saat sedang bermain judi di rumah salah seorang pelaku. Penangkapan dilakukan Minggu 9 Agustus 2009, pukul 00.30. Barang bukti yang disita: uang Rp9 juta, kartu remi, dan selimut.
Dua hari sebelumnya, di Larantuka, Flotim, Katua KPU Flotim Abdul Kadir H Yahya bersama empat stafnya ditangkap ketika sedang asyik berjudi di belakang kantor KPU. Pencidukan dilakukan pukul 15.000. Barang bukti yang disita: uang Rp1,5 juta dan kartu.
Merunut berita selengkapnya, dua kasus ini memiliki beberapa kesamaan. Para pelakunya tertangkap tangan, tertangkap basah. Barang buktinya sangat kuat, yaitu kartu (bukti mereka bermain), uang (bukti mereka bertaruh), dan lain-lain alat bukti pendukung. Mereka dibekuk polisi berdasarkan informasi dari masyarakat.
Selain ada kesamaan, juga ada perbedaan. Yang di Ruteng judinya malam hari. Yang di Flotim siang hari. Yang di Ruteng judinya di kediaman pelaku. Yang di Flotim di (belakang) kantor pelaku. Yang di Ruteng pelakunya beragam profesi: pengusaha dan PNS. Yang di Flotim seragam profesi, dari satu kantor, KPU. Yang di Ruteng pelakunya sejajar. Yang di Flotim atasan dan bawahan, ketua dan staf KPU.
Dilihat dari waktu, tempat, dan pelakunya, yang di Flotim sungguh luar biasa. Pertama, waktunya: siang-siang, pada jam kerja. Mereka bukan mengisi waktu luang, tapi meluangkan waktu berisi. Jam kerja menjadi jam bermain. Kedua, tempatnya: di (belakang) kantor. Areal kantor menjadi areal judi. Ketiga, pelakunya: orang satu kantor. Kepala kantor menjadi kepala judi.
Mereka melanggar hukum dan moral, sudah jelas. Mereka menodai citra lembaga, sudah pasti. Karena itu, sorotan hukum dan moral, untuk sejenak, kita ‘lupakan’. Kita simak sisi lain. Sisi budaya. Bukan budaya judinya, tapi budaya waktu, budaya penggunaan waktu.
Ada dua cara penggunaan waktu, kata Edward T Hall. Yaitu monokronik dan polikronik. Dalam cara monokronik, waktu terbagi-bagi dan orang menjadwalkan suatu kegiatan untuk waktu tertentu. Orang jadi bingung jika harus menangani berbagai kegiatan pada waktu yang sama. Di situlah bedanya dengan cara polikronik. Dalam cara polikronik, pemanfaatan waktu itu mengatur beberapa kegiatan yang berlangsung pada waktu yang sama.
Kita di Indonesia menggunakan waktu secara polikronik. Ungkapan bahasa kita menunjukkannya. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa, bukan? Kita mengenal ungkapan: sambil menyelam, minum air. Juga: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dalam praktik, memang seperti itulah yang terjadi. Yang dilakukan orang KPU Flotim, itulah contohnya. Sambil bekerja, bermain. Sambil berkantor, berjudi.
Istilah umumnya, mereka tidak disiplin. Tidak “tepat”. Yang disebut disiplin adalah tepat tindakan, tepat tempat, tepat waktu. Tindakan mereka justru tidak tepat: mereka berjudi. Tempatnya tidak tepat: di (areal) kantor. Waktunya pun tidak tepat: pada jam kerja.
Istilah psikologinya, mereka kekanak-kanakan. Belum matang, belum dewasa, meski sudah besar, sudah tua. Alasannya: mereka masih campur-adukkan bekerja dan bermain. Anak-anak memang tidak (tahu) membedakan antara bekerja dan bermain. Karena itulah, anak-anak bermain sambil bekerja. Yang dilakukan ‘anak-anak berkumis’ itu sama: berkantor sambil berjudi.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 11 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar