Kasus Penambangan Batu dan Pasir di Ende
Oleh Frans Anggal
Para penambang pasir di Samba, Kabupaten Ende, tetap menggali dan menjual pasir dan batu pada beberap titik ruas jalan Woloare-Nuabosi. Padahal, bupati sudah keluarkan SK 5 Mei 2009 yang melarang penambangan di lokasi itu.
Dilarang, namun tetap dilanggar. Para penambang punya alasan. Pertama, ini sumber nafkah mereka sejak lama. Dulu pernah dibikin kebun, namun pada 1983 ditutup oleh dinas kehutanan. Sebagai gantinya, mereka menambang. Sekarang dilarang lagi. Bagaimana bisa cari makan? Kedua, mereka kecewa. Pelarangan ini sepihak, tanpa sosialisasi. Penancapan tanda larang tidak diketahui pemilik lahan. Karena itu, mereka mengambil sikap: tetap menambang.
Sikap para penambang merupakan sikap warga terhadap negara. Sikap ini dapat digolongkan sebagai ‘ketidaktaatan sipil’ (civil disobedience). Secara hukum, sikap mereka ini tidak dapat dibenarkan karena melanggar SK bupati dan aturan-aturan terkait yang dirujuk SK dalam konsideransnya. Yang menjadi pertanyaan: apakah sikap ini juga merupakan pelanggaran moral?
Sekilas, alasan para penambang cukup meyakinkan secara moral. Tanah itu tanah mereka. Penambangan itu sumber nafkah mereka. Mereka menambang demi mempertahankan hidup. Menyemai kehidupan dan memelihara kehidupan, bukankah itu sikap dan tindakan moral terpuji?
Sampai di situ, mereka benar. Dan rupanya pertimbangan mereka hanya sampai di situ. Hanya sampai pada pertimbangan kepentingan diri sendiri. Diri sendiri dijadikan pusat. Ini sikap egosentrik. Salahkah? Jawabannya: tergantung dari dampaknya bagi orang lain atau kepentingan umum (bonum commune). Kalau merugikan, jelas salah. Kalau tetap tikam kepala dalam kesalahan, itu bukan lagi egosentrik, tapi egoistik.
Kasus penambang pasir di Samba bukan kasus baru. Dampak buruknya bagi kepentingan umum sudah lama dirasakan. Jalan raya rusak karena longsoran dan tumpukan material. Lalu lintas menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Nyawa penambang pun sudah melayang karena mati tertimbun. Permukiman sekitar yang letaknya lebih rendah terancam tanah longsor dan banjir.
Itulah kepentingan umum yang jelas-jelas dirugikan. Olehnya, sikap dan tindakan para penambang tidak hanya tidak dapat dibenarkan secara hukum, tapi juga tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka mempertahankan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Pemerintah sudah menawarkan lokasi baru, namun mereka tolak. SK bupati 5 Mei 2009 hanyalah tindakan kesekian, yang dipicu kasus kematian penambang beberapa hari sebelumnya.
Kita berharap pemerintah tetap dahulukan persuasi, memberikan pemahaman, sebelum mengambil langkah hukum. Persuasi penting karena tampaknya langkah ini belum optimal dilakukan. Ini kentara dari keluhan para penambang. Mereka kecewa pemerintah bertindak sepihak. Kenyataan ini mengejutkan Bupati Don Bosco Wangge karena sebelumnya camat sudah menjamin akan mengamankan SK bupati.
Pesan kita: sebelum menindak tegas para penambang, tindak dulu camat yang berjanji muluk tapi tidak jalankan tugas. Bupati berjanji memanggil dia. Itu tepat. Pada banyak kasus, kebijakan atasan tidak berterima di masyarakat bukan karena tidak bijaksana, tapi karena lemahnya para ujung tombak. Mereka menjalankan politik belah bambu: angkat yang di atas, injak yang di bawah. Atau bermental perangko: jilat ke atas, tekan ke bawah. Mental ‘asal bapak senang’ belum sepenuhnya hilang.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 18 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar