Habisnya Persediaan VAR di Ngada
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, sebulan terakhir ini, jumlah kasus gigitan anjing tersangka rabies cukup tinggi. Namun, stok vaksin anti rabies (VAR) kosong, baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Akibatnya, banyak korban gigitan tidak divaksin. Paling-paling diberi pertolongan pertama. Luka gigitan dibersihkan dengan deterjen untuk kemudian diobati.
Keadaan ini diakui Direktris RSUD Bajawa Maria BS Nenu dan Kadis Kesehatan Ngada Hildegardis Bhoko. Kata kadis, dalam APBD Ngada 2009, dana pengadaan VAR sebesar Rp100 juta. Dipakai beli VAR 800 flakon. Semuanya sudah habis. Pada perubahan APBD 2009, diskes ajukan lagi Rp50 juta. VAR-nya baru dipesan. Sementara itu, kasus gigitan terus bertambah.
VAR kosong karena habis terpakai. Habis terpakai karena ketersediaannya tidak memadai atau tidak mengantisipasi jumlah kasus. Letak masalahnya di mana? Apakah pada eksekutif (dikses) atau legislatif (DPRD)? Apakah diskes kurang prediktif-antisipatif sehingga ajuan anggarannya terlalu kurang? Ataukah ajuannya sudah prediktif-antisipaif namun dipangkas habis-habisan oleh DPRD?
Di mana pun letak biang keroknya, APBD sudah dibahas dan ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif. Jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan mereka sudah tergambar di sana. Juga, peduli atau tidak, peka atau tidaknya mereka pada kebutuhan masyarakat.
APBD 2009 Ngada mengalokasikan dana VAR Rp100 juta. Bagaimana bisa serendah ini? Flores ini endemik rabies. Usia rabies di pulau ini sudah satu dasawarsa lebih. VAR kurang, VAR habis, berulang hampir tiap tahun. Bagaimana bisa tidak belajar dari keberulangan seperti ini? Ini pertanda apa?
Dokter Johanes Don Bosco Do, mantan birokrat, mengakarkan keberulangan itu pada nihilnya kepedulian para elite. “Kalau elite terus mempertontonkan ketidakpekaannya pada kebutuhan masyarakat, hal-hal seperti ini tetap berulang.” Ia mengirim SMS 8 Agustus 2009, menanggapi “Bentara” hari itu tentang habisnya VAR di Kabupaten Sikka.
“Kaum profesional yang berada di front-line service tetap akan dibuat frustrasi kalau ketersediaan vaksin dan serum tidak terjamin di setiap pusksmas. Hari-hari yang akan datang perlu kita pelototi perencanaan APBD dan alokasinya,” tulis mantan kadiskes dan mantan dirut rumah sakit ini.
Pelototi APBD. Tepat! Sebab, jejak, wajah, hati, kiblat, dan keberpihakan para elite tergambar di sana. Semuanya ada di sana dan berawal dari sana. Bahkan, korupsi pun sudah dimulai dari sana, dari awal perencanaan APBD, yang dibalut rapi-jali atau disingkapkan dengan negosiasi, di bawah semangat tahu sama tahu dan untung sama untung.
Atas cara seperti itulah terjadi korupsi diskresi, korupsi terabsahkan, korupsi berjemaah, yang penetapannya selalu diawali formula suci: “Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa”. Semestinya diganti: “Dengan Khianati Tuhan yang Maha Esa”. Atau lebih tepat: “Dengan Restu Iblis yang Maha Rakus”.
Kalau APBD-lah yang harus dipelototi, janganlah lagi gampang mempercayai para elite yang bilang peduli dan peka pada kebutuhan masyarakat. Pelototi dulu APBD-nya. Benarkah peduli dan peka mereka terefleksi di sana? Soal kesehatan, rabies, VAR, sama halnya. Seberapa besar anggarannya dalam APBD? Kalau dana VAR cuma sekian persen dari anggaran perjalanan dinas bupati, apa yang dapat kita katakan tentang semua kebohongan mereka?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 14 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar