Atas Selebrasi, Bawah Frustrasi
Oleh Frans Anggal
Seorang bocah 10 tahun dirawat di RSUD Maumere, Kabupaten Sikka. Ia busung lapar. Berat badannya tinggal 15 kg atau 50 persen di bawah berat ideal. Lainnya, 449 balita, menderita gizi buruk.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu apa yang terjadi di Maumere dua pekan sebelumnya. Nasib mereka turut dibicarakan dalam sebuah pertemuan pastoral (perpas). Perpas VIII Regio Nusra, “Gereja Nusra Peduli Petani Membangun Kedaulatan Pangan”.
Si bocah dan ratusan balita tidak tahu juga, yang hadiri perpas adalah semua uskup bersama perwakilan 8 keuskupan dari wilayah gerejawi Nusra yang meliputi NTT, NTB, dan Bali. Mereka juga tidak tahu, kegiatan sepekan itu berlangsung di sebuah hotel baru, hotel berbintang, yang disebut-sebut sebagai hotel terbaik di NTT. Mereka pun tidak tahu, awal perpas ditandai misa syukur peresmian hotel tersebut.
Seandainya mereka tahu, apa yang mungkin dapat mereka katakan? Sulit ditebak. Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka berkata seperti ini. Senangnya kamu peserta perpas: sehat-sehat , gemuk-gemuk, makmur-makmur. Tidak seperti kami: sakit-sakit, kurus-kurus, miskin-miskin. Enaknya kamu peserta perpas: pergi-pulang pakai pesawat, pakai mobil pribadi. Tidak seperti kami: bersesak-sesak dengan angkot, nungging sana-sini pakai ojek. Bahagianya kamu peserta perpas: di hotel megah bersidang, makan-minum, dan tidur. Tidak seperti kami: di rumah sakit, berderet di ruang kelas paling buncit.
Sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka masih akan membanding-bandingkan. Kita sama dalam satu hal: pangan. Semua kita butuh makan bukan? Namun kita tetap berbeda. Kamu berkecukupan dan mungkin berkelimpahan, kami berkekurangan dan selalu kehabisan. Kamu bertanya dapat makan apakah hari ini, kami bertanya apakah dapat makan hari ini.
Dan soal gizi makanan itu, sekadar mengira-ngira, boleh jadi mereka akan berkata lagi. Kamu bahas gizi buruk tapi tidak mengalaminya. Kami alami gizi buruk tapi tidak membahasnya. Kamu teorinya, kami pengalamannya. Kamu seksi omong, kami seksi rasakan. Kamu unggul bicara, kami ulet menderita. Kamu busung dada, kami busung lapar.
Kalau benar mereka akan berkata begitu, sekadar mengira-ngira, itu bukan karena benci, iri, atau dengki. Tapi karena merasa ‘tidak enak’. Kurang lebih seperti perasaan seorang bocah lain di RSUD Ruteng, Manggarai. Ia dirawat karena gizi buruk ketika pejabat pemkab dan para tokoh masyarakatnya sibuk dengan ritus adat peresmian kantor baru bupati yang berlangsung lama, akbar, dan mahal.
Kisah Maumere, kisah Ruteng, cerminan kisah Flores. Kisah penuh kontras. Yang di bawah penuh frustrasi. Yang di atas penuh selebrasi. Orang pemerintah, orang Gereja, tak ada bedanya dalam hal ini. Lihatlah gedungnya, sama megahnya. Lihatlah perayaannya, sama borosnya.
Dengan hanya melihat itu, Flores terkesan makmur. Benar kata Tacitus, “Major e longinquo reverentia.” Dari kejauhan, semua hal terlihat indah. Tapi coba, penuhi amanat Injil, “Duc in altum!” Bertolaklah lebih ke dalam! Apa yang terlihat? Sama-sama miskinnya. Yang di bawah miskin harta, kesehatan, pendidikan. Yang di atas miskin rasa, bahkan mati rasa. Tak ada sense of crisis. Tak ada sense of urgency. Flores, Flores, quo vadis?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 7 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar