10 Agustus 2009

Rabies dan Perbuatan Iblis

Satu Dasawarsa Lebih Rabies di Flores

Oleh Frans Anggal

Rabies makan korban lagi. Di Kabupaten Sikka, bocah 7 tahun meninggal di RSUD Maumere, Jumat 31 Juli 2009. Korban digigit anjing rabies sepuluh bulan sebelumnya. Sementara itu, sejak Senin 3 Agustus 2009, seorang lagi korban 39 tahun dirawat di RSUD Maumere. Ia digigit sebulan sebelumnya.

Dua pekan sebelumnya, di Kabupaten Manggarai. Rabu 19 Juli seorang warga digigit anjing saat kembali dari kebun. Ia segera ke RSUD Ruteng guna mendapat VAR. Mengecewakan. Persediaan VAR kosong.

Kalau dirunut sejak rabies masuk Flores, kasus seperti ini bukan kasus baru. Kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, kasus matinya korban, hanyalah kasus perulangan. Kasusnya yang itu-itu, selama 12 tahun, sejak pertama kali rabies masuk Flores melalui Flotim, November 1997.

Kita jadi bingung. Sudah satu dasawarsa lebih di Flores, rabies tidak hilang-hilang. Bupati boleh datang dan pergi, DPRD boleh naik dan turun, rabies tetap tinggal di tempat. Sudah begitu banyak pertemuan, lokakarya, program, anggaran, dan kegiatan pemberantasan, rabies tidak beranjak. Pulau Flores sudah menjadi semacam pulau rabies.

Julukan itu tidak berlebihan. Bukan hanya karena fenomena rabies yang hilang muncul silih berganti, diberantas di satu kabupaten tapi muncul di kabupaten lain, tapi juga karena sepertinya fenomena ini sudah dianggap biasa. Di awal-awal, kasus gigitan, kasus terlambatnya pertolongan, kasus kosongnya VAR, dan kasus matinya korban, begitu menggemparkan. Sekarang tidak lagi. Rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.

Rupanya karena itulah kasus gigitan dicatat dan diperlakukan lebih sebagai data administratif ketimbang rekaman untuk segera diatasi. Tak mengherankan kalau terjadi seperti yang di Manggarai itu. Pasien gigitan datang, VAR kosong. Katanya, sudah diminta ke provinsi, tapi belum dikirim.

Kadar keterpercayaan dari pernyataan seperti ini sangatlah rendah. Bagaimana bisa begitu. Flores ini daerah endemik rabies. Rabies di sini sudah berusia 12 tahun. Kasus gigitan di Manggarai per Juni 2009 sudah 173. Dalam kondisi menggenting ini, bisa-bisanya persediaan VAR kosong.

Apa pun dalih, kondisi seperti ini tidak dapat dibenarkan. Sebab, pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan atau rumah sakit tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini ‘dosa pembiaran’ (sin of omission). Akibatnya, masyarakat tidak hanya menjadi korban dari penyakit, tapi juga korban dari kekurangpedulian pemerintah.

Perihal kekurangpedulian itu, indikasinya jelas dari sejarah rabies Flores 12 tahun. Sejarah itu ditandai kasus perulangan. Seperti kasus lainnya, kosongnya VAR merupakan kasus yang selalu berulang. Itu berarti ini bukan sekadar masalah teknis lagi. Ini sudah masalah rendahnya kepedulian. Ya, mungkin karena rabies dianggap biasa, dianggap bagian dari Flores.

Soal keberulangan, pepatah Latin mengingatkan, “Bis repetita non placent”. Pengulangan dua kali tidak menyenangkan. Bayangkan. Pengulangan dua kali saja sudah begitu, apalagi yang terus-menerus. Lebih-lebih pula kalau yang berulang itu justru kesalahan yang sama.

Tentang kesalahan yang sama, pepatah Latin menasihatkan begini. “Errare humanum est. Perseverare diabolicum”. Berbuat kesalahan, itu manusiawi. Mengulangi kesalahan, itu sudah perbuatan iblis. Kita mengakui, perbuatan iblis itulah yang terjadi selama ini.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 6 Agustus 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam sejahtera,
asslamualaikum wr wb,
sy senang membaca tulisan rabies dan perbuatan iblis.
Tuhan berkehendak baik apabila manusia berusaha.
Selamat utk tetap berkarya.

wassalam,
gatot m