Tidak Laksanakan Putusan PT Kupang
Oleh Frans Anggal
Seorang terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere, Indra Lae, menjalani masa tahanan melampaui putusan hakim. Seharusnya ia sudah bebas 13 Agustus 2009. Nyatanya, ia belum kunjung dibebaskan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Maumere.
Oleh Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Indra Lae divonis dua tahun penjara, lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa. Hukuman itu ia jalani sambil mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Oleh PT Kupang, hukumannya diperingan menjadi tujuh bulan. Dihitung dengan masa tahanannya sejak 13 Janari 2009 maka per 13 Agustus 2009 masa hukumannya genap tujuah bulan. Artinya, sejak tanggal itu semestinya ia sudah dibebaskan, sebagai konsekuensi putusan PT yang harus dilaksanakan oleh Kejari Maumere. Nyatanya tidak.
Mengapa bisa begitu? Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Maumere Acep Sudarman bikin alasan. “Putusan PT Kupang belum dieksekusi karena jaksa mengajukan kasasi. Jadi, putusan itu belum inkrah,” katanya. Belum inkrah berarti belum berkekuatan hukum tetap.
Yang menjadi pertanyaan kita: kapan sebuah putusan berkekuatan hukum tetap? Tidak jelas. Sebab, putusan PN masih bisa dibanding ke PT. Putusan PT masih bisa dikasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA pun masih bisa digoyang dengan peninjauan kembali (PK). Durasi dari keseluruhan proses ini bisa berbulan-bulan. Bisa pula bertahun-tahun seperti dalam kasus para terpidana mati. Ada yang mendekam di penjara 10 tahun sebelum akhirnya meregang nyawa di hadapan regu tembak. Artinya, yang bersangkutan dihukum mati plus 10 tahun penjara.
Dengan gradasi yang lain, nasib terdakwa kasus shabu-shabu di Maumere seolah-olah mau dibuat seperti itu oleh jaksa. Ini tidak dapat dibenarkan. Terutama kalau ditinjau dari asas kesetaraan dan keseimbangan. Dalam negara hukum, kedudukan negara bukanlah di atas individu, tetapi setara dengan individu. Jaksa selaku instrumen negara serta terdakwa selaku individu sama di hadapan hukum. Punya hak, punya kewajiban. Hak itu diklaim, kewajiban itu dilaksanakan.
Dalam kasus Maumere, terdakwa dan jaksa sama-sama punya hak: mengajukan banding. Terdakwa banding ke PT Kupang, jaksa banding (kasasi) ke MA. Keduanya juga sama-sama punya kewajiban: melaksanakan putusan pengadilan. Lucunya justru di sini. Ketika terdakwa sudah selesai menjalani kewajiban hukuman, jaksa malah tidak melaksanakan kewajiban membebaskan terdakwa. Sebaliknya, hak si terdakwa untuk bebas ia batalkan dengan berdalihkan haknya untuk mengajukan kasasi.
Tampak jelas di sini, asas kesetaraan dan kesimbangan itu dilanggar habis oleh jaksa. Ia menempatkan dirinya di atas terdakwa. Keliru besar dia. Tidak tahu diri dia. Ini bukan negara totaliter. Ini negara hukum. Di hadapan hukum, negara dan individu itu sejajar (equality before the law).
Kalau menghargai asas kesetaran dan keseimbangan, tak perlulah jaksa berpikir dan bertindak yang janggal-janggal. Sederhana saja persoalannya: engkau dengan hakmu, terdakwa dengan haknya. Hakmu mengajukan kasasi, silakan, tidak dihalangi-halangi oleh terdakwa. Demikian sebaliknya, hak terdawa untuk bebas, hargailah, jangan pula kau halang-halangi. Itu baru namanya setara dan seimbang.
Kita berharap, Kejari Maumere menyadari kekeliruannya. Juga menyadari dampak kekeliruannya. Kejari telah melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Juga telah merampas kemerdekaan seseorang.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 19 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar