Korban Perkosaan Adukan Anggota DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
Korban perkosaan di bawah umur mengadukan anggota DPRD Sikka terlantik, Sunarin, ke polres dan kejari di Maumere, Selasa 25 Agustus 2009. Pengaduan dilakukan sehari setelah ‘anggota dewan terhormat’ dilantik. Perkosaan terjadi 17 Oktober 2008 di kos korban yang adalah rumah pelaku di Nangahale. Selanjutnya berulang, seluruhnya delapan kali.
Pengaduan ini bukan yang pertama. Kasusnya sudah duluan dilaporkan. Hanya, polresnya lamban. Korban dan para pendamping mendesak segera tahan pelaku. Didesak begini, barulah polres gopo-gapa. Pada hari itu juga dibikin gelar perkara bersama kejari.
Lambannya kerja polres membawa akibat: untung dan rugi. Untung bagi si pelaku. Rugi bagi si korban. Pelaku diuntungkan karena pelantikannya menjadi ‘anggota dewan terhormat’ berjalan mulus. Sebaliknya, korban dirugikan. Haknya atas pelayanan hukum yang cepat, mudah, dan murah tidak segera ia peroleh. Ini perkosaan juga. Perkosaan hak sekaligus perkosaan psikologis, setelah perkosaan fisik.
Mengapa polres lamban? Apakah karena si pelaku adalah ‘anggota dewan terhormat’? Apakah karena si korban cuma anak orang kebanyakan, anak orang kampung, anak orang miskin? Atau karena faktor lain yang tidak perlu disebutkan tapi sudah menjadi rahasia umum penegakan hukum di republik amburadul ini?
Apa pun itu, lambannya penanganan mengesankan satu hal. Polres memandang perkosaan terhadap anak di bawah umur (di bawah 18 tahun) sebagai kasus biasa-biasa saja. Padahal, semestinya, ini kasus luar biasa. Perkosaan terhadap anak di bawah umur harus dipandang sebagai kejahatan serius. Karena sifatnya itu, kejahatan ini tidak termasuk delik aduan.
Oleh sifatnya yang bukan delik aduan maka asalkan diketahui oleh polisi, kasus perkosaan anak di bawah umur harus diproses hukum, meskipun tidak ada pengaduan dari korban. Proses hukumnya pun harus sampai tuntas, meskipun korban atau orangtua korban meminta menghentikannya atau menarik kembali pengaduan.
Dasar dari kategorisasi ini adalah anggapan bahwa anak di bawah umur tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Karena itu, dalih ‘suka sama suka’ atau yang lebih kasar ‘dia jual pisang, saya beli pisang’ tidak dapat diterima. Sebagaimana umumnya anak-anak, anak di bawah umur harus dianggap tidak mengerti secara keseluruhan sifat dasar seksual dari tindakan tertentu, dan karena itu pula ia tidak mampu memberikan persetujuan sendiri.
Karena itulah, dalam kasus si ‘anggota dewan yang terhormat’ yang adalah bapak kos, si korban yang adalah anak kos yang masih di bawah umur itu harus dipandang sebagai korban tidak berdaya. Ia tidak punya kemampuan melindungi diri sendiri. Ia juga tidak dalam posisi mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Olehnya, ia mudah dieksploitasi, ditipu, dipaksa.
Dengan cara pandang ini, kasus perkosaan terhadap anak di bawah umur tidak boleh diperlakukan sebagai kasus biasa seperti terkesan dipertontonkan Polres Sikka. Koq lamban? Ini kasus luar biasa. Penanganannya pun harus luar biasa. Harus cepat dan tepat. Cepat, karena keberlama-lamaan hanya akan memperparah trauma anak. Tepat, karena bukan tidak mungkin korban ‘diperkosa’ berkali-kali lewat penyidikan, persidangan, dan pemberitaan ngawur.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 27 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar