12 Agustus 2009

Amuk Massa di Soa

Perusakan Mapolsek dan Rumah Warga

Oleh Frans Anggal

Massa dari Desa Loa, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, mengamuk. Mereka merusak Mapolsek Soa dan membakar rumah Petrus Duka.

Kata Kapolres Dadang Suhendar, kasus bermula dari lokasi pacuan kuda di Desa Seso. Saat itu Yulius Muga melihat kakeknya dipukul oleh Alexander Andi. Membela kakeknya, Muga mengambil parang milik orang lain. Ia bacok Andi di pelipis dan dana. Andi tersungkur. Muga lari ke Mapolsek Soa. Mendengar massa mendatangi mapolsek, Muga lari bersembunyi di hutan. Mapolsek pun jadi sasaran amuk massa. Selanjutnya massa ke Masu. Di sana mereka bakar rumah Petrus Duka, ayah pelaku.

Rumah hangus. Dua sepeda motor ikut terbakar. Yang selamat hanya padi dua ton. Itu pun atas bantuan polisi yang terlambat tiba. Kerugian sekitar Rp75 juta. Pelaku pembacokan sudah ditangkap. Sedangkan korban bacokan dilarikan ke RSUD Ruteng, Manggarai. Sebab, dokter bedah di RSUD Bajawa belum datang.

Mudahnya warga mengamuk! Maklum, kata sosiologi. Begitulah kalau terlalu banyak kelas bawah: miskin, kurang berpendidikan, dll. Kelas bawah cenderung kurang pakai otak, lebih ikut emosi, kurang mengerti hukum. Masyarakat seperti ini mudah dihasut. Apalagi dalam kerumunan. Mudah lahir amuk massa.

Menurut kajian psikologi, dalam kerumunan, amuk massa lebih dikendalikan oleh jiwa kolektif (collective mind) ketimbang jiwa masing-masing individu (individual mind). Akibatnya, setiap individu dalam kerumunan berpikir, merasa, dan bertindak serupa. Gawatnya, sifatnya kekanak-kanakan, emosional, irasional, dan agresif-destruktif.

Dalam kerumunan, identitas individu tenggelam oleh anonimitas. Di dalam anonimitas, individu merasa ‘aman’. Buat apa saja, ia tidak merasa terbebani tanggung jawab. Sebab, tanggung jawabnya sudah diserahkan kepada atau diambil alih oleh kawanan. Bisa dibayangkan agresif dan destruktifnya jika aksi mereka dibakar oleh dendam, kebencian, dan permusuhan.

Dalam amuk massa di Soa, mapolsek dan rumah ayah pelaku pembacokan jadi sasaran. Ini cuma sasaran pengganti atau sasaran pelengkap. Sasaran utamanya adalah pelaku pembacokan. Kalau ia tidak melarikan diri dan tertangkap, apakah jiwanya masih selamat? Kemungkinan tidak. Dalam banyak kasus amuk massa, penyebab kejadian dan akibatnya sering tidak seimbang. Bukan sekadar ‘gigi ganti gigi’, tapi ‘banyak gigi ganti satu gigi’.

Kita berharap kasus Soa ditangani lengkap, adil, dan tuntas. Jangan seperti di Ende dalam kasus Minggu malam 10 Mei 2009. Saat itu, dua ledakan diduga bom ikan menggelegar di kompleks Dolog. Tempat pengetikan dan tambal ban Thomas A Senda berantakan. Ia tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat ini jadi sasaran. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini.

Bagaimana penyelesaiannya oleh Polres Ende? Kasus pengeroyokannya diproses. Kasus penyerbuan dan pengebomannya tidak. Alasan: ini aksi massa, tidak bisa diidentifikasi. Alasan ini berbahaya. Preseden buruk ke depan. Orang bisa bikin kacau terus pakai aksi massa. Apa benar pelaku aksi massa tidak bisa diidentifikasi? Yang benar saja.

Kita berharap Polres Ngada tidak ikut-ikutan seperti itu. Jangan cari gampang lalu berdalih macam-macam. Masyarakat tidak bodoh dan tidak mudah dikibuli.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 13 Agustus 2009

Tidak ada komentar: