Ritus Peresmian Kantor Baru Bupati Manggarai
Oleh Frans Anggal
Acara adat peresmian kantor baru bupati Manggarai di Ruteng telah berakhir. Perhelatannya lama, dua minggu, karena harus melewati semua tahapan ritus sebelum sampai pada acara puncak congko lokap. Selain lama, juga akbar. Maka, sudah pasti mahal. Ratusan juta rupiah amblas.
Ini hajatan pemkab di bawah Bupati Chris Rotok dan Wabup Kamilus Deno. Mengapa dan untuk apa tatacaranya seperti ini, Rotok dan Deno memberikan jawaban berbeda.
Kata Rotok, tatacara ini usulan tetua adat. Kata Deno, ini semacam cas budaya. Dua jawaban, dua kesan. Jawaban Rotok, meski menjelaskan dasarnya, namun mengesankan tetua adatlah penginisiatif, sedangkan pemkab tinggal menyesuaikan diri. Jawaban Deno sebaliknya, meski menjelaskan tujuannya, namun mengesankan pemkablah penginisiatif.
Siapa pun penginisiatif, hajatan sudah terlaksana dengan lancar, tertib, aman, dan sukes. Sukses di sini tentulah sukses penyelengaraan. Sedangkan sukses tujuan penyelenggaraan itu sendiri, yaitu cas budaya tadi, masih harus dilihat. Lazimnya, yang masih harus dilihat terlupakan bersama berlalunya kemeriahan.
Kita tidak menginginkan seperti itu. Acara adat yang lama, akbar, dan mahal ini tidak boleh mubazir sekadar sebagai tontonan. Ia harus menjadi tuntunan. Itu berarti menjadi bagian dari strategi kebudayaan menuju hari depan Manggarai yang lebih bermartabat.
Kebudayaan itu sendiri merupakan suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan yang diarahkan kepada hari depan. Begitu kata filosof C A van Peursen. Apa dan bagaimana persisnya rencana induk kebudayaan di balik perhelatan di Ruteng, belumlah terekspose. Jangan-jangan tidak ada. Dan jika tidak ada maka perhelatan tadi tak lebih dari tontonan belaka.
Itu yang tidak boleh. Perhelatan itu, sesuai dengan ‘kecap’ yang dilontarkan bupati dan wabup serta simpatisannya, harus terbukti menjadi bagian dari masterplan strategi kebudayaan Manggarai. Tidak cukup dan amat mubazir juga tersesat jikalau semua ini hanya menjadi tindakan nostalgik, mengenang apa yang dilakukan nenek moyang dahulu kala.
Kalau benar seperti kata Wabup Deno bahwa ini semacam cas budaya, maka perhelatan ini mesti menjadi ‘mekanisme pelatuk’ yang membawa efek luas secara budaya dan etik. Kalau tidak, semua itu hanyalah omong kosong yang sangat mahal. Efek pelatuk hanya terjadi seperti pada permainan catur. Menggeser satu bidak hanya membawa efek bila pemain sungguh tahu aturan main. Demikain pula, hanya orang yang sungguh tahu akan struktur sosial dapat mengaitkan perbuatannya dengan keadaan sekitarnya dan mengubah keadaan sekitarnya itu.
Pidato Martin Luther King, “I Had a Dream”, yang kemudian menjadi tersohor, menarik sebuah pelatuk dalam situasi politik yang sudah menjadi beku. Dalam kasus ini, perbuatan satu orang bisa jauh melampaui lingkupnya. Orang lain yang melakukan cara yang sama kemudian belum tentu menimbulkan efek yang sama.
Tentang ini, van Peursen menekankan, bukan perbuatan saja yang penting, melainkan perbuatan yang berkaitan dengan struktur yang ingin dirombak. Dan perbuatan itu baru dapat relevan bila muncul dari rasa tanggung jawab moril serta pengetahuan tepat mengenai struktur yang ada.
Apakah yang ini juga terjadi dalam perhelatan di Ruteng? Apa setelah congko lokap?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar