10 Agustus 2009

Rabies dan Logika Vaksin

Korban Rabies di RSUD Maumere

Oleh Frans Anggal

Setelah merenggut nyawa seorang bocah 7 tahun pada Senin 3 Agustus 2009, rabies kembali memakan korban. Kali ini seorang pria 39 tahun. Ia masuk RSUD Maumere Senin petang 3 Agustus ketika kondisinya sudah kritis. Rabu 5 Agustus ia meninggal. Selama dua hari dirawat, ia tidak diberi suntikan vaksin anti rabies (VAR) ataupun serum. Ada apa?

Kata korban, mengutip info dari pihak rumah sakit, persediaan vaksin habis. “Saya takut Pak. Saya diberitahu tidak ada vaksin. Saya belum divaksin oleh petugas.” Ia tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya. Ketika pihak rumah sakit ditanyai wartawan, jawabannya lain lagi.

“Dalam kondisi pasien seperti ini, petugas tidak bisa memberikan vaksin atau serum. Vaksin hanya bisa diberikan di saat awal kasus gigitan.” Begitu kata Dokter Kandida. Maksudnya, pemberian vaksin atau serum tak ada gunanya lagi karena sudah terlambat.

Tampak, terjadi pergeseran jawaban. Dari tidak divaksin karena tidak ada vaksinnya ke tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Dari alasan teknis, jawaban beralih ke alasan medis. Peralihan argumentasi ini terjadi ketika publik, diwakili wartawan, melakukan kontrol.

Mana alasan yang sebenarnya, alasan teknis ataukah alasan medis, cuma rumah sakit yang tahu. Kita tidak ingin terjebak dalam mekanisme pertahanan diri ini. Karena itu, lupakan dulu alasan teknis atau alasan medis itu. Mari tatap wajah sang pasien. Wajah sesama manusia yang menderita. Wajah yang gelisah, cemas, takut oleh bayang-bayang kematian semenjak kepadanya diberitahukan vaksin telah habis. Baginya: habisnya vaksin sama dengan habisnya harapan.

Ini yang menyedihkan, sekaligus mengerikan kita. Secara medis mungkin benar, ada atau tidaknya vaksin tidak penting. Kalaupun ada, tidak harus diberikan. Kalaupun diberikan, tidak ada gunanya, sudah terlambat, virus sudah sampai di otak dan memangsa syaraf otak, nyawa tidak mungkin tertolong. Jadi? Pasien itu dibiarkan saja sampai mati sendiri?

Tampaknya, seperti diberitakan, begitu. Sendiri, sendirian, dan sebatang kara. Hakikat kematian memang begitu, menurut filosof Martin Heidegger. Dalam menghadapi kematian, tak ada orang lain yang berpartisipasi. Namun bukan berarti tak boleh ada orang lain di sampingnya bukan?

Di ruang saat pasien itu mengembuskan napas terakhir, tidak ada siapa-siapa. Tidak keluarganya. Tidak juga petugas medis. Di lorongi unit perawatan pun tak ada seorang pun. Bukankah ini indikasi pembiaran? Pasien itu dibiarkan sampai mati sendiri?

Patut dapat diduga begitu. Coba simak ‘logika vaksin’ tadi. Pasien tidak divaksin karena tidak ada gunanya. Ada semacam paralelisme. Sebagaimana vaksin tidak diberikan karena tidak ada gunanya, demikian pula perhatian tidak diberikan karena juga tidak ada gunanya, pasien itu toh mau mati.

Kalau benar demikian, mengerikan. Argumentasi medis telah membawa implikasi etis yang luas. Betapa tidak, jika konsisten dengan ‘logika vaksin’ itu maka harus juga dapat dikatakan: kita tidak usah lagi berjuang hidup di dunia ini, tidak ada gunanya, karena kita semua akan mati.

Dengan logika seperti itu, kematian tidak lagi memberi makna pada kehidupan, tetapi sebaliknya, menyingkirkannya. Sungguh, ini ancaman sangat serius terhadap budaya kehidupan.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 8 Agustus 2009

Tidak ada komentar: