Flores Belum Jadi Kawasan Terpadu
Oleh Frans Anggal
Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berpendapat, rabies hanya bisa lenyap dari Flores kalau ada gerakan bersama. Untuk itu, semua kepala daerah perlu duduk bersama. Apalah artinya kalau satu kabupaten memberantas, sementara kabupaten lain membiarkan. “Perlu gerakan bersama melakukan vaksinasi. Jika ada HPR yang tidak tertib, dibasmi saja.” Demikian diwartakan Flores Pos Kamis 27 Agustus 2009.
Yang dikatakan Bupati Aoh itu tepat. Bukan sesuatu yang baru pula. Sudah lama, tapi selalu mendek. Di atas ‘kertas’ tampak mudah karena Flores satu pulau. Di atas ‘tanah’, itu yang sulit. Karena, dalam satu Pulau Flores terdapat begitu banyak ‘pulau kecil’. Ada ‘pulau geopolitik’, ‘pulau sub-etnik’, ‘pulau kultur’, ‘pulau sosial’, ‘pulau ekonomi’, dst.
Aneka ‘pulau’ itu seakan-akan tertutup. Tidak saling memedulikan, tidak saling membutuhkan. Penanganan rabies hanya satu contoh dari begitu banyak problem bersama Flores yang justru tidak ditangani secara bersama-sama. Dalam bidang perhubungan, misalnya, tiap daerah berlomba membangun dan meningkatkan bandara. Apa perlu dan apa efisien sebanyak itu?
Ketika orang-orang Flores menyelenggarakan mubes Flores provinisi di Ruteng beberapa tahun silam, banyaknya ‘pulau’ di atas Pulau Flores begitu mencuat. Tiap ‘pulau’ menutup diri. Untuk menentukan calon ibu kota provinsinya saja, mereka tidak mampu bersepakat. Sejak itu, perjuangan Flores provinsi pun berantakan dan tak jelas lagi rimbanya.
Dalam membangun diri sendiri, Flores belum bisa bersatu. “Secara konkret, ketika orang berbicara tentang ‘pembangunan Flores’, yang dimaksud bukanlah suatu visi dan konsep pembangunan terpadu-menyeluruh (integrated) dengan skema besar (grand design) dan pola yang sistematis. Yang terjadi hanyalah ‘pembangunan Manggarai di Flores’, ‘pembangunan Ngada di Flores’ dst, bukan ‘pembangunan Flores DI Manggarai’, ’pembangunan Flores DI Ngada’ dst yang berbeda secara implikatif.”
Begitu lontaran seorang putra Flores di tanah rantau, Valens Daki-Soo, melalui SMS-nya 20 Juni 2009. Ia benar. Kenyataan, masyarakat Flores adalah ‘masyarakat yang terpecah’ (disintegrated community). Ego daerah dan ego sektor begitu kencang. Tiap daerah berjalan sendiri-sendiri. Di bawah otonomi daerah, gejala ini semakin menjadi-jadi.
Akibatnya, roda pembangunan tiap daerah menderu tanpa visi dan arah yang sama. Atau, arahnya sama, namun karena tidak berbasis pada platform dan visi yang sama, maka yang terjadi adalah inefisiensi yang meluber dalam pembangunan.
Cerita tentang rebies yang sudah satu dasawarsa lebih tapi belum hilang-hilang dari Flores adalah cerita tentang Flores yang terpecah-pecah itu. Flores yang sulit bersatu. Flores yang berjalan sendiri-sendiri. Flores seperti itu pula yang tampak dalam penanggulangan HIV/AIDS, perdagangan manusia, dll.
Keprihatinan seperti inilah yang ada di balik anjuran Bupati Aoh memberantas rabies melalui gerakan bersama. Seandainya semua kepala daerah memiliki keprihatinan seperti ini, mereka akan mudah duduk bersama dan mencapai kata sepakat. Bukan tidak mungkin, kebersamaan yang berawal dari pemberantasan rabies akan berkembang ke hal yang lebih luas.
Yang kita maksudkan di sini adalah ‘pembangunan Flores’. Pembangunan Flores di Nagekeo, dst. Bukan lagi pembangunan Nagekeo di Flores, dst. Flores sebagai sebuah entitas. Flores sebagai sebuah kawasan terpadu. Kenapa tidak!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 28 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar