10 Agustus 2009

DPRD Lembata Memalukan

Kontroversi Pengambilan Paksa Mobil di Rujab Bupati

Oleh Frans Anggal

Wakil rakyat di DPRD Lembata bereaksi keras terhadap pengambilan paksa mobil Escudo merah EB 50 DI oleh polisi di rujab bupati di Lewoleba, Minggu 26 Juli 2009. Mereka, Ketua Fraksi Partai Golkar Yohanes Vianey K Burin dan Wakil Ketua DPRD Frans Making.

Mereka menyatakan penyesalan mendalam lewat interupsi pada sidang paripurna penyampaian hasil pembahasan perhitungan APBD 2008, Jumat 31 Juli 2009.

Kata mereka, rujab bupati adalah simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Pengambilan paksa mobil di rujab sangat memalukan. Peristiwa itu disaksikan banyak orang. Rujab tidak bisa diamankan karena polisi pamong praja tak ada di tempat. Mereka harus diberi sanksi. Gara-gara mereka tidak di tempat, Bupati Andreas Duli Manuk sendirilah yang turun tangan, dalam pakaian tidak patut. Adegan ini disiarkan televisi. “Kita terkejut, bupati dengan celana pendek dan singlet mengusir masyarakat. Memalukan daerah ini,” kata Making.

Apa sebenarnya yang dipersoalkan Burin dan Making? Rujab bupati yang jadi lokasi pengambilpaksaan mobil? Pengambilpaksaan itu sendiri ? Banyaknya masyarakat yang nonton? Tidak bertugasnya polisi pamong praja? Atau, bupati yang pakai celana pendek dan singlet?

Rujab jadi lokasi pengambilpaksaan mobil. Wajar. Mobilnya ada di situ. Jadi, jangan persoalkan mengapa rujab jadi lokasi pengambilpaksaan. Persoalkanlah, mengapa mobil pribadi sang anak diparkir di halaman rujab sang bupati. Kita sepakat, rujab itu simbol kekuasaan dan kepemimpinan daerah. Justru karena itu, jangan jadikan halamannya lokasi parkir sembarang mobil. Salahnya di situ. Lagipula, kapolres sudah sampaikan, suatu saat mobil itu akan disita.

Soal pengambilpaksaan. Sebenarnya tak perlu pakai paksa kalau pemilik mobil Erni Manuk, putri Ande Manuk, berada di tempat. Kunci mobil dia bawa, ban depan gembos. Maka, untuk bisa dibawa, mobil ditarik pakai mobil Dalmas. Tidak salah. Yang salah, pemilik mobil, kenapa tidak titip kuncinya.

Soal banyaknya masyarakat yang nonton. Juga wajar. Ini terkait dengan orang besar. Kasusnya, pembunuhan seorang pejabat publik. Sarana pengangkutnya, mobil anak bupati. Tempat parkirnya, rujab bupati. Di rujablah pengambilpaksaan dilakukan. Mana tidak heboh? Massa datang nonton. Larang bikin apa? Sebagaimana persidangan nanti, tindakan ini terbuka untuk umum.

Soal tidak bertugasnya polisi pamong praja. Silakan ditindak kalau mereka indisipliner. Yang perlu diingat, kalaupun bertugas saat itu, mereka tidak berhak melarang polisi yang melakukan tindakan pro iustitia. Sebaliknya, mereka harus membantu kelancarannya.

Soal bupati yang hanya pakai celana pendek dan singlet. Siapa suruh? Itu pilihannya berpakaian. Gus Dur juga begitu saat meninggalkan istana. Ia hanya bercelana pendek. Tindakannya dikecam karena dinilai mendramatisasi situasi dengan cara mencitrakan diri sebagai orang teraniaya guna mendapat simpati.

Apa yang tidak diperoleh Gus Dus justru dituai Ande Manuk. Ia mendapat simpati dari Vian Burin dan Frans Making. Kedua wakil rakyat ini terharu, lalu menyatakan penyesalan mendalam. Mereka menilai peristiwa ini memalukan daerah.

Mereka lupa, penilaian mereka juga bikin malu daerah. Apalagi kalau DPRD sampai membahas peristiwa ini secara khusus. Berlebihan. Masih banyak hal lain yang jauh lebih penting dan mendesak.

“Bentara” FLORES POS, Senin 3 Agustus 2009

Tidak ada komentar: